TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Memberikan hukuman mati kepada para pengedar narkoba, ternyata tidak berdampak pada jumlah pengguna narkoba. Pengguna narkoba justru meningkat selama 2015.
Marzuki Darusman, pendiri Fondation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST), mengaku sudah meminta data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), pascapelaksnaan eksekusi mati.
Pelaksanaan eksekusi hukuman mati di era pemerintahan Koko Widodo - Jusuf Kalla, sudah dilakukan dua kali, yakni pada 18 Januari 2018, dan pada 29 April 2015. Namun pada kurun waktu Juni hingga November 2015, pengguna narkoba justru naik sebanyak 1,7 juta orang.
"Jadi itu data dari BNN jelas menggambarkan, tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan perang terhadap narkoba, harusnya turun, (tapi) ini naik," ujarnya kepada wartawan di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (26/2/2016).
Karena itu, argumen pemberian hukuman mati untuk memberikan efek jera, seharusnya sudah tidak bisa digunakan lagi. Pemerintah harusnya menghapuskan hukuman mati.
"Kami setuju hukuman mati dihapuskan, kecuali untuk kasua terorisme dan genosida, karena itu memberikan efek rusak, yang tidak bisa diperbaiki," jelasnya.
Sebagai gantinya bila hukuman mati dihapuskan, menurut Marzuki Darusman terhadap para pelaku biaa diberikan hukuman penjara seumur hidup, yang justru lebih berat dari pada hukuman mati.
"Secara fisik, secara moral secara psikologis, hukuman seumur hidup lebih berat, tapi pelaku masih punya keaempatan," jelasnya.
Kesempatan yang ia maksud, adalah kesempatan bagi para terpidana untuk memperbaiki dirinya, bahkan untuk membuktikan bila dalam proses persidangan terjadi kesalahan. Kesempatan itu tidak akan dimiliki, bila terpidana sudah tewas.
"Karena yang bersangkutan sudah mati karena dieksekusi," jelasnya