Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA--Pengungkapan peredaran adegan pornografi melalui media sosial yang mengandung materi Lesbian, Gay, Biseks, Transgender (LGBT) bukanlah tindakan diskriminatif.
Aparat Subdit Indag Dit Reskrimsus Polda Metro Jaya mengungkap peredaran adegan pornografi melalui media sosial yang mengandung materi LGBT.
Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan (Unpar) Agustinus Pohan tegaskan, pornografi adalah tindak pidana, termasuk yang bermuatan materi LGBT sekalipun.
"Jadi penegakan hukum materi pornografi terkait LGBT bukan masalah diskriminasi," tegas Pohan kepada Tribun, Rabu (16/3/2016).
Menurutnya penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian mengungkap kejahatan pornografi tersebut tidak diskriminatif.
Dan perolehan alat bukti melalui cara-cara undercover, yang dipakai kepolisian dapat dibenarkan secara hukum.
"Itu dibenarkan sepanjang tidak dilakukan dengan memprovokasi pihak-pihak yang semula tidak punya niatan untuk melakukan tindak pidana," cetusnya.
Aparat Subdit Indag Dit Reskrimsus Polda Metro Jaya mengungkap peredaran adegan pornografi melalui media sosial yang mengandung materi LGBT.
Peredaran adegan pornografi terungkap setelah aparat kepolisian melakukan penyelidikan dengan cara undercover buy. Aparat kepolisian berpura-pura sebagai pembeli adegan pornografi tersebut.
Kasubdit Indag Dit Reskrimsus Polda Metro Jaya, AKBP Agung Marlianto, mengatakan aparat kepolisian menangkap dua pelaku. FW ditangkap
di Kantor Jasa Pengiriman barang (Ekspedisi) JNE, Jalan Raya Bogor KM 39, Cimanggis, Depok. Sementara itu, FF diamankan di Pondok Kopi.
"Tersangka sudah diamankan dan sedang diproses penahanan," tutur Agung kepada wartawan, Rabu (16/3/2016).
Dia menjelaskan, tersangka melakukan tindak pidana di bidang pornografi dan perfilman sejak bulan November 2015. Mereka mengemas adegan pornografi dalam bentuk DVD, flashdisk, MMC dan HOD.
Ini didistribusikan kepada pembeli dengan cara mengirim ke salah satu jasa ekspedisi. Distribusi dilakukan di seluruh Indonesia. Hal ini karena transaksi melalui media sosial tak terpengaruh wilayah.
"Jadi yang berminat membeli dipandu melalu media sosial. Kemudian ditransaksi melalui pengiriman uang via atm, barang dikirim lewat ekspedisi barang. Omzet Rp 10-30 juta per bulan. Omzet tergantung pemesanan, kalau pemesanan banyak kuantitas tinggi," kata dia.
Untuk sementara, pelaku masih mendekam di ruang tahanan Mapolda Metro Jaya. Mereka dijerat Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Pasal 80 Juncto Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, ancaman maksimal hukuman pidana penjara 12 tahun dan denda Rp 10 miliar.