TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Persatuan Indonesia (Perindo), Hary Tanoesoedibjo begitu yakin dirinya tidak dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung terkait kasus dugaan korupsi pengembalian pajak atau restitusi PT Mobile 8 Telecom Tahun 2007-2009.
Keyakinannya tidak akan menjadi tersangka dikarenakan ia selaku komisaris saat itu tidak tahu-menahu kegiatan operional transaksi perdagangan barang-barang telekomunikasi antara PT Mobile 8 Telecom dan PT Djaja Nusantara Komunikasi (DNK) dan pengembalian pajak tersebut.
"Kalau orang di politik biasalah (dibidik kasus,-red). Tapi, tidak mungkin saya jadi tersangka. Saya pastikan itu. Tidak mungkin saya bisa jadi tersangka. Wong tahu aja tidak."kata Hary Tanoe sebelum menjalani pemeriksaan sebagai saksi di Kejaksaan Agung, Kamis(17/3).
Hary mengaku baru tahu kasus restitusi pajak yang disidik oleh Kejaksaan Agung ini setelah adanya pemberitaan kasus ini di media massa. Hasil analisisnya, sebenarnya tidak ada pidana dalam proses perdagangan yang diikuti pembayaran dan pengembalian pajak PT Mobile 8 Telecom tersebut.
"Saya tentang kasus ini tidak tahu. Jadi, ini kan operasional, saya sebagai komisaris. MNC Group itu banyak anak perusahaannya, seratusan lebih. Kalau ditanya pada saat kejadiannya, saya tidak tahu. Ini kasus operasional," kata Hary.
Menurutnya, adalah tidak mungkin dirinya selaku komisaris mengetahui satu per satu kegiatan operasional PT Mobile 8 Telecom.
"Contoh sederhana saja, sekarang di bawah MNC Group ada RCTI. Tiap tahun katakanlah bayar pajak Rp 800 miliar, apakah saya terlibat dalam membayar pajak bulanan, PPN, pajak penghasilan? Itu kan saya tidak terlibat. Itu sudah diatur sesuai ketentuan pajak yang berjalan dengan sendirinya, meskipun saya adalah CEO MNC Group dan bahkan saya sebagai direktur RCTI. Tapi, kan direktur keuangan dan direktur lainnya berjalan dengan sendirinya," ujar Hary Tanoe.
Ia mempersilakan kepada pihak-pihak termasuk jaksa penyidik Kejaksaan Agung yang dipimpin oleh HM Prasetyo, jika ingin mengaitkan dirinya dalam kasus dugaan korupsi pajak ini. Ia mengaku tidak gentar dan siap melayani. Namun, ia mengingatkan, setiap tuduhan harus disertai pembuktian.
"Kalau tahu-tahu saya dijadikan tersangka, tapi tidak tahu apa-apa, bisa atau tidak? Yah, sama jawabannya," ujarnya.
Ia menambahkan, kehadirannya memenuhi panggilan pemeriksaan Kejaksaan Agung ini adalah dalam rangka menunjukan sebagai warga negara yang taat hukum.
Tantang Kejagung
Pengacara Hary Tanoe, Hotman Paris Hutapea menantang Kejaksaan Agung untuk dikonfrontasi dengan Dirjen Pajak Ken Dwijugiasetiadi. Hotman juga bersikukuh bahwa kliennya tidak melakukan pelanggaran hukum dalam transaksi dengan PT Djaya Nusantara Komunikasi.
"Mau enggak Kejagung, saya, Dirjen Pajak, sama jaksa senior duduk di depan wartawan. Buka-bukaan deh," ujar Hotman.
Menurut Hotman, Dirjen Pajak telah menyatakan transaksi pembelian ponsel dan pulsa beserta restitusi pajak tidak ada kejanggalan. Ia mengaku berkali-kali telah meminta kejaksaan untuk dikonfrontasi, tetapi tidak ditanggapi.
"Ini kejaksaan yang kurang memahami Undang-Undang Pajak," kata Hotman.
Menanggapi klaim pihak Hary, Jaksa Agung HM Prasetyo bersikukuh bahwa ada kerugian negara dalam perkara ini. Prasetyo menduga, Hotman hanya mencatut Ditjen Pajak sebagai pembenaran. Penyidik nantinya akan memanggil Ken untuk dikonfirmasi mengenai ucapan pihak Hary.
Prasetyo menyayangkan banyaknya isu yang berkembang di luar soal perkara ini. "Dirjen Pajak akan kita undang apakah benar dia bicara seperti itu. Dirjen Pajak kita telepon tidak benar pernah ngomong seperti itu," kata Prasetyo.
Punya Bukti Kuat
Jaksa Agung Pidana Khusus Arminsyah menegaskan, Kejaksaan Agung pihaknya terus menyelidiki kerugian negara dalam kasus restitusi pajak PT Mobile 8 Telecom. Menurut dia, Kejagung sudah memiliki bukti yang kuat atas dugaan tindak pidana dalam kasus ini.
Dia menanggapi cecaran sejumlah anggota panja yang meragukan kinerja Kejagung dalam mengusut kasus yang menyeret nama Bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo itu.
"Bukti yang kita dapat ada. Ini kan masih penyidikan dan masih berlanjut. Indikasi awal ada tindak pidana itu ada. Makanya kita lakukan penyidikan. Masih berjalan," kata Arminsyah.
Dia menambahkan, Kejagung tidak akan memandang bulu dalam menuntaskan kasus ini, termasuk jika melibatkan petinggi partai sekalipun.
Kejagung akan bekerja secara objektif dan tidak akan terpengaruh oleh tekanan pihak mana pun.
"Fight, tidak fight, kami cari kebenaran. Dalam mencari kebenaran kami kumpulkan keterangan resmi. Nanti baru kami simpulkan siapa yang bertanggung jawab," ujarnya.
Arminsyah pun membantah jika dituding menzalimi pihak tertentu. Pengusutan kasus Mobile 8 ini, murni atas dasar penegakan hukum dan tak ada intervensi dari pihak manapun.
"Kami tidak menzalimi siapa pun. Di dalam agama Islam doa orang-orang yang terzalimi itu bahaya, langsung dikabulkan. Kami dalami terus, profesional dan Insya Allah tidak akan pernah menzalimi orang," ujarnya.
Selain memanggil Hary Tanoe yang berkapasitas sebagai mantan Komisaris PT Mobile 8, penyidik telah memeriksa antara lain mantan Staf Keuangan Bagian Pengeluaran PT Mobile 8 Megawati, dan Vice President Finance PT Mobile 8, Janis Gunawan.
Hingga saat ini, belum ada tersangka yang ditetapkan dalam kasus Mobile 8. Kasus dugaan korupsi PT Mobile 8 bermula saat Kejaksaan Agung menemukan transaksi fiktif yang dilakukan dengan PT Jaya Nusantara pada rentang 2007-2009.
Pada periode 2007-2009 yang lalu, PT Mobile 8 melakukan pengadaan ponsel berikut pulsa dengan nilai transaksi Rp 80 miliar. PT Djaya Nusantara Komunikasi ditunjuk sebagai distributor pengadaan. Ternyata, PT Djaya Nusantara Komunikasi tak mampu membeli barang dalam jumlah itu.
Akhirnya, transaksi pun diduga telah direkayasa, seolah-olah terjadi perdagangan dengan membuatkan invoice sebagai fakturnya. Pada Desember 2007, PT Mobile 8 mentransfer uang kepada PT Djaya Nusantara Komunikasi sebanyak dua kali dengan nilai masing-masing Rp 50 miliar dan Rp 30 miliar.
Pada pertengahan 2008, PT Djaya Nusantara Komunikasi menerima faktur pajak dari PT Mobile 8 dengan total nilai sekitar Rp 114 miliar. Faktur pajak itu diterbitkan agar seolah-olah terjadi transaksi pada dua perusahaan.
Faktur pajak itu kemudian digunakan PT Mobile 8 untuk mengajukan kelebihan pembayaran (restitusi pajak) kepada negara melalui KPP di Surabaya agar perusahaannya masuk bursa Jakarta pada 2009.
PT Mobile 8 akhirnya menerima pembayaran restitusi sebesar Rp 10 miliar. Padahal, perusahaan itu tidak berhak atau tidak sah menerima restitusi karena tidak ada transaksi. Akibatnya, diduga negara mengalami kerugian sebesar Rp 10 miliar.(tronimmews/coz/val//wly)