TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung berencana melakukan eksekusi terpidana mati gelombang ketiga.
Informasi yang beredar, jumlah terpidana mati yang akan dieksekusi pada gelombang ketiga sebanyak 7 orang.
Direktur Imparsial Al Araf menilai hal tersebut menunjukkan pemerintahan Joko Widodo tidak belajar dari kesalahan yang telah dilakukan sebelumnya.
"Pemerintahan Jokowi konsisten dengan Nawacita penghormatan kepada HAM. Kalau konsisten maka eksekusi hukuman eksekusi dihentikan karena tidak sesuai Nawacita," kata Direktur Imparsial Al Araf di Kantor Imparsial, Jakarta, Minggu (1/5/2016).
Al mengingatkan adanya moratorium eksekusi hukuman mati. Sebab, pertimbangan DPR dan Pemerintah yang sedang melakukan revisi UU KUHP.
Revisi itu menunjukkan kemajuan, dimana adanya perubahan hukuman mati dari tindak pidana pokok menjadi alternatif. Kemudian, syarat-syarat pemberian hukuman mati diperberat.
Ia menuturkan pelanggaran hak untuk hidup melalui penerapan hukuman mati tercatat sangat tinggi selama 1,5 tahun pemerintahan Jokowi. Dari Oktober 2014-April 2016, terdapat 71 jumlah vonis pidana mati baru di berbagai tingkat pengadilan.
Sementara itu 14 orang terpidana mati telah dieksekusi.
Al menuturkan dalam revisi UU KUHP juga dibahas masa tahanan 5-10 tahun menjadi seumur hidup sehingga hukuman mati dikaji ulang.
"Pemerintah tak perlu melakukan eksekusi hukuman mati," ujarnya.
Apalagi, kata Al, pemerintah dan DPR melihat situasi saat ini dimana banyak negara menghentikan praktik hukuman mati.
Ia menyebutkan praktik pemidanaan bukan lagi mengenai hukuman mati terkait pembalasan tetapi koreksi sosial.
"Dulu pembalasan, membunuh dibalas membunuh, sekarang tujuan pemidanaan bukan pembalasaan tapi koreksi dan kontrol sosial. Di Indonesia napi vonis hukuman mati ditempatkan di lapas. Lapas bukan penghukuman tapi permasyarakatan tujuannya koreksi sosial," imbuhnya.