TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Proses reformasi di tubuh Mahkamah Agung dinilai tak berimplikasi langsung dengan praktik jaringan mafia peradilan.
Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menyatakan bahwa modus-modus korupsi di dunia peradilan belum banyak berkurang.
Hal tersebut menandakan masih ada ruang gelap yang dapat dimanfaatkan mafia peradilan untuk membajak putusan pengadilan untuk kepentingan mereka.
Salah satu anggota koalisi, Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera mengatakan, reformasi di sektor yudisial sudah dilakukan sejak tahun 1999.
Namun, kenyataannya tidak berdampak positif dalam membasmi maraknya mafia hukum di lembaga peradilan.
"Praktik mafia peradilan itu benar terjadi di lapangan. Ada beberapa pola atau modus yang mereka lakukan untuk mengatur jalanya perkara," ujar Bivitri saat memberikan keterangan pers di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (10/5/2016).
Bivitri menjelaskan, ada lima modus yang kerap terjadi di dalam lingkup pengadilan. (baca: Koalisi Pemantau Peradilan Catat 27 Oknum Peradilan Terlibat Korupsi)
Dalam tahap prapersidangan, calo perkara membangun hubungan baik dengan hakim atau pegawai pengadilan dengan memberikan hadiah atau fasilitas. Tujuannya, menciptakan hutang budi ketika berperkara.
Pada tahap pendaftaran perkara pun sering ditemui adanya pungutan liar di luar ketentuan saat pendaftaran perkara dan menawarkan penggunaan jasa advokat tertentu.
Biasanya, kata Bivitri, oknum tersebut akan mengaku bisa mempercepat atau memperlambat pemeriksaan perkara. (baca: Ketua MA Dinilai Tak Punya Sikap Jelas Terkait Maraknya Mafia Peradilan)
Modus lain yang biasa terjadi, calo perkara kerap meminta pihak tertentu untuk mengatur majelis hakim pada saat penetapan majelis hakim.
Sedangkan dalam proses persidangan biasanya muncul upaya merekayasa persidangan dengan mengatur saksi, pengadaan barang bukti sampai pada mengatur putusan pengadilan.
Modus terakhir, lanjutnya, yakni pungutan liar yang diminta oleh oknum tertentu guna mempercepat atau memperlambat minutasi putusan.
"Semua modus itu masih jamak terjadi. Penyimpangan terjadi pada saat minutasi putusan. Ini jadi cara untuk mendapatkan uang," kata Bivitri.
Bivitri menyinggung investigasi Ombudsman yang menemukan praktik percaloan di beberapa pengadilan.
Para calo menjanjikan dapat membantu para pencari keadilan dengan harga tertentu. (baca: Ombudsman: Praktik Percaloan Lembaga Peradilan Sangat Mengkhawatirkan)
Berangkat dari kenyataan tersebut, Bivitri mendesak ketua Mahkamah Agung membuat langkah strategis untuk menyikapi permasalahan korupsi yang marak terjadi di lembaga yudisial.
Langkah strategis tersebut tidak hanya dilakukan dengan membentuk tim khusus di bawah badan pengawas MA, melainkan juga bekerjasama dengan KPK dan Komisi Yudisial dalam memetakan jaringam mafia peradilan dan merumuskan sistem pengawasan.
Penulis: Kristian Erdianto