Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pelindungan Anak, dianggap Perppu emosional irrasional karena disusun dalam keadaan marah atas kasus yang belakangan terjadi.
Pakar hukum Universitas Indonesia (UI) Gandjar Bondan mengingatkan bahwa ancaman sanksi pidana yang berat tidak pernah terbukti berhasil mencegah kejahatan bila tidak pernah dijatuhkan.
"Terlebih Perppu itu hanya memperberat pemidanaan, tidak mempertegas langkah dan upaya pencegahan," katanya kepada Tribunnews.com, Kamis (26/5/2016).
Dengan begitu sangat terasa, Perppu Nomor 1 Tahun 2016 bisa dilihat sebagai Perppu emosional-irrasional.
Terlihat disusunnya Perppu tersebut dalam keadaan marah atas kasus yang belakangan terjadi.
Jokowi menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pelindungan Anak sebagai perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu tersebut memuat diantaranya sanksi tegas berupa hukuman lima tahun penjara hingga hukuman mati dan denda maksimal Rp 300 juta hingga Rp 5 miliar.
"Perppu ini untuk mengatasi kegentingan yang diakibatkan kekerasan seksual terhadap anak yang semakin meningkat signifikan," kata Presiden Jokowi di Istana Negara.
Selain mengatur mengenai adanya hukuman pokok berupa hukuman penjara hingga mati, ada pula hukuman tambahan yang akan diberlakukan.
Diantaranya adalah pemasangan alat deteksi elektronik di pergelangan kaki bagi para residivis agar diketahui gerak geriknya dan pengumuman identitas pelaku ke publik serta tindakan berupa kebiri kimia.
Pidana tambahan yaitu pengumuman identitas pelaku, tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik.
Presiden mengatakan, Pidana Subsider bagi pelaku kekerasan terhadap anak tersebut akan memberikan ruang kepada hakim untuk memberikan putusan yang berat kepada pelaku.
"Kita berharap dengan hadirnya Perppu ini, bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku serta dapat tekan kejahatan seksual terhadap anak yang merupakan kejahatan luar biasa," kata Jokowi.