Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - RUU Pilkada yang telah disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR menyisakan sejumlah persoalan.
Satu diantaranya dalam Undang Undang (UU) tersebut tidak mengatur pelarangan mantan napi kasus korupsi untuk berlaga di Pilkada.
Peneliti ICW Almas Sjafrina mengatakan tidak adanya aturan tersebut sangat berbahaya bagi keberlangsungan roda pemerintahan di daerah.
Almas melihat pada Pasal 7 UU Pilkada.
Rekomendasi yang disampaikan kepada pembuat UU terhadap perbaikan syarat calon kepala daerah memberikan larangan kepada orang yang berstatus tersangka.
Orang yang menyandang status tersebut harus dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah.
"Jika hendak dipersempit dan diberikan kekhususan, maka larangan bisa disampaikan kepada orang yang menjadi tersangka kasus korupsi," kata Almas dalam diskusi di kawasan Jakarta Pusat, Minggu (5/6/2016).
Menurut Almas, hal itu menjadi penting untuk menjaga standar tinggi integritas calon kepala daerah yang akan dipilih masyarakat.
Namun, ketentuan akhirnya tidak jadi disepakati DPR dan Pemerintah.
"Ini bukan hal yang main-main. Ini momentum perbaikan bagi suatu daerah. Bagaimana kalau sudah punya kasus," katanya.
Ia mengingatkan posisi kepala daerah sangat strategis, sehingga potensi masalah harus direduksi sejak awal.
"Kami kecewa kalau tersangka korupsi tetap difasilitasi," tuturnya.
Selain itu, ia melihat UU Pilkada tidak mengatur larangan napi yang masih menyandang status bebas bersyarat terkait pencalonan kepala daerah.
Ia menilai revisi UU tersebut tak melihat evaluasi Pilkada sebelumnya.
"Kita tidak lupa bahwa Pilkada 2015 kemarin diloloskannya sebagian napi yang berstatus bebas bersyarat oleh KPUD. Di Manado, Pilkada terpaksa ditunda karena adanya persoalan itu," imbuhnya.