TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komite II DPD RI menilai pemerintah tidak siap mengantisipasi lonjakan harga kebutuhan pokok menjelang lebaran.
Hal ini dikatakan Ketua Komite II DPD RI, Parlindungan Purba dalam rapat kerja Komite II DPD RI dengan Kementerian Pertanian, di Senayan Jakarta, Senin (21/6/2016).
Parlindungan menilai ketidaksiapan pemerintah terlihat dari selalu berulangnya kenaikan harga barang kebutuhan pokok di setiap menjelang hari raya.
“Setiap tahun masalah yang sama selalu terjadi, hal ini menunjukkan ketidaksiapan pemerintah dalam mengendalikan harga. Pemerintah seharusnya menyiapkan scenario yang tepat untuk menekan kenaikan harga-harga,” ujarnya.
Terkait dengan kebijakan impor, Parlindungan Purba meminta pemerintah melibatkan petani lokal dalam menentukan kebijakan impor barang-barang pangan untuk mengendalikan harga di pasaran.
“Jangan sampai impor-impor yang dilakukan oleh pemerintah, merusak harga pasar dan merugikan petani dan peternak lokal, “ kata senator asal Sumatera Utara ini.
Sementara itu, Senator Sumatera Selatan, Asmawati menilai pemerintah selalu terlambat dalam mengantisipasi stok pangan.
Salah satunya, masalah penetapan harga daging sapi di pasaran yang susah ditetapkan sehingga sekarang harga daging di pasar tradisional masih diatas 130 ribu.
“Pemerintah jangan sampai terlambat mengantisipasi harga pangan, Kementrian harus bisa mengantisipasi karena permasalahan selalu sama setiap tahun,” ujarnya.
Sedangkan Senator Gorontalo, Rahmijati Jahja menyoroti tentang penyakit pada sapi yaitu anthrax.
Menurutnya, di Gorontalo ditemukan 6 orang meninggal akibat penyakit tersebut.
Untuk itu, Ia berharap kementerian perhatian dapat mengirimkan tenaga ahli yang khusus menanganinya.
“Ada 6 orang meninggal karena anthrax di Gorontalo, ini mengindikasikan bahwa perlu penerapan khusus dalam menangani masalah ini, pemerintah bisa mengirimkan tenaga ahli untuk dengan memeriksa kesehatan sapi-sapi potong sebelum beredar untuk konsumsi,” katanya.
Tak hanya soal impor pangan, masalah pertanian dan perkebunan juga ikut menjadi sorotan.
Senator Jawa Tengah, Denty Eka Widi Pratiwi menilai Indonesia kurang mampu menciptakan varietas unggulan dalam sektor perkebunan dan pertanian serta lemah dalam hal pemasaran produk.
“Para petani hanya terbiasa menjual bahan mentah yg nilainya lebih kecil daripada bahan jadi, untuk mengantisipasi hal tersebut Kementrian Pertanian harus berkordinasi dengan Kemendag untuk mengemas pemasaran hasil pertanian agar lebih bernilai jual,” ujarnya.
Menjawab hal itu, Dirjen Peternakan Kementerian Pertanian, Muladno menjelaskan langkah pemerintah membuka kran impor adalah dalam rangka mengendalikan harga daging sapi.
“Pemerintah berusaha untuk membuka kran impor. Hal tersebut terpaksa dilakukan karena lonjakan permintaan sementara produsen lokal tidak bisa memenuhi permintaan pasar,” katanya.
Lanjutnya, pemerintah akan menerapkan nol persen untuk bea masuk untuk sapi bakalan dan sapi indukan.
Hal tersebut diperlukan untuk meningkatkan jumlah produksi sapi di Indonesia.
“Idealnya begitu, impor sapi untuk indukan dan bakal sapi, sehingga bisa meningkatkan geliat ekonomi, jika hanya impor daging beku peternak tidak akan terlibat dan mendapatkan peningkatan ekonomi,” ujarnya.