TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyanderaan untuk ketiga kalinya terhadap warga negara Indonesia yang menjadi anak buah kapal (ABK) pengangkut batubara di perairan Filipina janggal.
Karena menurut pengamat terorisme UI Ridlwan Habib, penyanderaan ini sendiri meminta tebusan dalam bentuk ringgit bukan dollar atau peso.
Selain itu, kelompok bersenjata itu juga menawan 7 dan membiarkan kapal dan 6 orang sisanya pulang.
"Penyanderaan ini janggal karena mereka meminta tebusan dalam bentuk ringgit bukan dollar atau peso," kata Ridlwan kepada Tribun, Sabtu (25/6/2016).
Disamping itu, dia melihat Pemerintah tampak belum memiliki mekanisme tanggap darurat ketika sebuah kasus penyanderaan terjadi, meskipun ini sudah kasus ketiga kalinya terjadi.
Sehingga terlihat Pemerintah terlambat dan gagap menyikapi kasus ini terhadap tujuh awal kapal (ABK) TB Charles asal Indonesia yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf.
"Berbeda dengan dua kasus sebelumnya, respon pemerintah terlihat gagap dan kurang siap terhadap kasus ini," ujarnya.
Pemerintah bahkan, kritiknya, sempat menyangkal adanya penyanderaan.
Panglima TNI dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sempat membantah adanya peristiwa itu.
"Baru setelah simpang siur, pak Luhut membuat crisis centre, " katanya.
Menurut Ridlwan, sistem operasi Bais dan intelijen Pangkalan TNI AL harus dievaluasi.
Sebab, informasi yang tidak akurat yang disampaikan pada pimpinan bisa mengakibatkan salah mengambil kebijakan.
"Kita sempat dipuji dunia internasional ketika sukses membebaskan 14 WNI. Saat ini kita diuji lagi dengan kasus 7 WNI. Jangan lengah, " ujar alumni S2 Kajian Stratejik Intelijen UI tersebut.