Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) pengampunan pajak atau tax amnesty ditargetkan selesai dibahas di DPR bulan Juli mendatang. Pada bulan yang sama Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) perubahan, ditargetkan selesai.
Pembahasan RUU tersebut digenjot untuk mengantisipasi permasalahan keuangan negara. Rencananya negara akan mengampuni para konglomerat, yang selama ini menyembunyikan uangnya di luar negri, dengan tujuan untuk mendapatkan tarif pajak yang lebih murah.
Syarat untuk mengampuni konglomerat tersebut, mereka harus menyimpan uangnya di dalam negeri, sehingga negara ke depannya dapat lebih leluasa menarik pajak dari mereka.
Menurut Manager Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Apung Widadi, RUU tersebut harus ditolak. Kepada Tribunnews.com, ia menegaskan bahwa RUU tersebut tidak adil bagi rakyat.
"Itu karpet merah buat konglomerat kalau dimaafkan, uang kerja keringat masyarakat Indonesia, dibawa keluar negeri, hasil dari mana tidak jelas, korupsi, illegal logging dan lainnya, lalu diampuni. Tidak adil," ujarnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menyebutkan bahwa banyak hasil eksploitasi alam di Indonesia, uangnya di simpan di luar negeri. Sehingga Indonesia hanya kebagian kerusakan alam, dan manfaatnya diterima negara tempat uang disimpan.
Menurut Apung, konglomerat-konglomerat itu seharusnya justru diberi sanksi hukum, atas kejahatan pajak yang mereka lakukan, bukannya dimaafkan oleh negara.
Dengan memaafkan konglomerat-konglomerat tersebut, uang yang didapatkan memang signifikan, yakni Rp 165 triliun. Padahal uang pengusaha asal Indonesia yang disimpan di luar negeri menurut Bank Indonesia mencapai Rp 11.500 triliun.
Masyarakat harus menolak RUU tersebut. Apung mengatakan salah satu cara menolaknya, adalah terus mengingatkan anggota dewan soal ketidakadilan tersebut.