Laporan wartawan Tribunnews.com, Valdy Arief
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kelanjutan penyelidikan perkara dugaan permufakatan jahat terkait perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia (PT FI) tergantung Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal tersebut dikarenakan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto telah mengajukan uji materi mengenai penafsiran frasa permufakatan jahat di Pasal 15 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
"Masih menunggu MK, kan lagi digugat Pasal 15 (UU Tipikor)," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (30/6/2016).
Pada uji materi yang diajukan beberapa waktu lalu, melalui pengacaranya, Novanto meminta kejelasan penafsiran Pasal 15 UU Tipikor karena dianggap tidak jelas seperti yang diatur Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Selain itu, mantan Ketua DPR itu juga mempermasalahkan keabsahan alat bukti sebagaimana yang diatur Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Masalah uji materi di MK, sebelumnya pernah disampaikan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo dalam makalahnya pada rapat kerja dengan Komisi III DPR beberapa pekan silam.
Masih adanya perbedaan pendapat ahli soal permufakatan jahat dan belum adanya keterangan dari pengusaha Muhammad Riza Chalid merupakan hal yang masih dikaji Kejaksaan dalam kasus "Papa minta saham".
Skandal ini bermula saat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Senin (16/11/2015).
Pelaporan itu dilakukan karena Sudirman menduga Novanto mencatut nama presiden dan wakil presiden saat bertemu mantan Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin bersama pengusaha Muhammad Riza Chalid dari sebuah rekaman pembicaraan.
Dalam pertemuan tersebut, terindikasi politikus Partai Golkar itu mencatut nama presiden guna meminta sejumlah saham PLTA Urumka, Papua yang tengah dibangun PT FI.
Sebagai gantinya dia diduga berjanji memuluskan negosiasi perpanjangan kontrak karya perusahaan tambang asal negeri Paman Sam itu.
Kejaksaan melihat ada dugaan permufakatan jahat dalam pembicaraan tersebut yang dapat dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi.
Dalam penyelidikan kasus ini Kejaksaan Agung menyatakan telah meminta bantuan dari ahli tekonologi informasi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan ahli hukum pidana Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Kasus ini sempat sidangkan MKD, tapi jelang putusan dibacakan Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR mengundurkan diri.