TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan revisi Undang Undang (RUU) Terorisme masih terus dibahas di DPR.
Pembahasan tersebut belum juga kelar, karena belum semua setuju gagasan revisi tersebut.
Ditengah-tengah polemik soal revisi, terjadi sejumlah kasus terorisme, mulai dari teror bom Thamrin, Jakarta Pusat, pada Januari lalu, dan teror bom di Polresta Solo, Jawa Tengah pada 5 Juli lalu, sehari sebelum hari raya Idul Fitri.
Wakil Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas, mengatakan setiap ada kasus terkait terorisme, banyak pihak langsung melontarkan pernyataan mendesak agar RUU segera dirampungkan pembahasannya.
"Padahal banyak pasalnya yang mengancam demokrasi," ujar Busro kepasa wartawan di kantor PP Muhamadiyah, Jakarta Pusat, Jumat (15/7/2016).
Hal-hal yang dipermasalahkan dalam RUU itu antara lain adalah dipermudahnya syarat-syarat penyidikan oleh Polisi, dan pelibatan TNI dalam penanganan teror.
Ia menyayangkan bila momentum teror, dimanfaatkan untuk mempercepat proses pembahasan. Padahal karena hal hal yang di ahas adalah hal yang sangat penting, proses pembahasannya tidak boleh didesak-desak.
"Statement (pernyataan) itu mengesankan ambisi bernafsu banget, ada apa di balik itu?" tutur Busyro.
Kata dia, tidak boleh ada pihak yang mengambil keuntungan dari kasus yang ada, yang berharap teror terus terjadi.
Pasalnya yang dirugikan adalah Indonesia, yang bisa dipandang sebagai negara dengan kasus teror yang tidak kunjung tertanggulangi.