TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengungkap, jelang eksekusi Jaksa Agung Muda Pidana Umum melaporkan ada persoalan yuridis dan non yuridis yang menyebabkan eksekusi terhadap 10 terpidana mati ditangguhkan.
Namun, Jaksa Agung tidak menjawab terkait surat Presiden Ketiga BJ Habibie kepada Presiden Jokowi, meminta meninjau kembali keputusan eksekusi mati terhadap terpidana mati asal Pakistan, Zulfiqar Ali.
"Belajar dari yang lalu tahap dua. Pada detik terakhir harus ada yang ditangguhkan. Seperti ada permintaan dari Filipina untuk menangguhkan Mary Jane karena masih diperlukan sebagai saksi dan dia dinyatakan sebagai korban. Saya tekankan waktu itu kemungkinan ada 14," ujar Prasetyo, Jumat (29/7/2016).
Namun, Prasetyo tidak menyebutkan secara rinci persoalan yuridis dan non yuridis tersebut yang menjadi dasar penangguhan.
Namun, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mempertegas , Kejaksaan Agung telah mempertimbangkan surat dari Presiden ketiga BJ Habibie terhadap terpidana mati Zulfiqar dan surat dari Komnas Perempuan terhadap Merry Utami.
"Berbagai masukan yang diberikan baik itu Pak Habibie, Komnas Perempuan dan berbagai masukan jadi catatan pertimbangan oleh pemerintah," ujar Pramono.
"Masukan-masukan itu tentunya menjadi pertimbangan. Dan sekarang ini mengenai jumlah dan sebagainya, apakah hanya 4 atau masih ini sepenuhnya kewenangan itu ada pada Jaksa Agung," ucap Pramono.
Sebelum eksekusi dilaksanakan pada Jumat (29/7/2016) dinihari, nama Zulfiqar Ali asal Pakistan dan Merry Utami asal Indonesia masuk daftar hukuman mati jilid III.
Namun, yang dieksekusi hanya empat orang, yaitu Freddy Budiman (Indonesia), Michael Titus Igweh dan Humphrey Ejike alias Doctor (Nigeria), serta Seck Osmane (Senegal).
Sebelumnya, Direktur Imparsial Al Araf menilai jika pemerintah tetap melakukan eksekusi terhadap terpidana mati asal Pakistan, Zulfiqar Ali. Zulfiqar divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang pada tahun 2005 atas kasus kepemilikan 300 gram heroin.
"Presiden harus hati-hati. Kalau sampai pemerintah memaksakan eksekusi Zulfiqar Ali, maka saya pastikan tensi internasional naik, pemerintah dan akan tercoreng, khususnya kredibilitas Presiden di mata internasional. Mengapa orang yang tidak bersalah dihukum mati," kata Al Araf
Menurut Al Araf, Zulfiqar mengalami proses hukum yang cacat dalam penetapan vonis hukuman mati. Proses hukum Zulfiqar dinilai Al Araf penuh dengan rekayasa dan penyiksaan.
Al Araf mengatakan, Kepala Balitbang HAM Kementerian Hukum dan HAM pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Hafid Abbas, pernah melakukan investigasi dan menyatakan Zulfiqar tidak bersalah dan tidak layak dihukum mati.
"Pengakuan tersangka utama Gurdip Singh di depan pengadilan bahwa Zulfiqar tidak bersalah dalam peredaran narkoba yang dia lakukan," ucap Al Araf.