Laporan Wartawan Tribunnews.com, Amriyono Prakoso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo mengatakan pembahasan revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebaiknya tetap mengedepankan perlindungan hak warga negara dalam berekspresi.
Regulasi tersebut bukan untuk memfasilitasi pejabat maupun penguasa yang antikritik sehingga dapat melakukan kriminalisasi terhadap seseorang yang tidak disuka.
Sebagai contoh, sejak pengesahan UU ITE pada 2008 hingga saat ini tercatat ada 186 orang yang menjadi korban kriminalisasi. Umumnya mereka dilaporkan pejabat di level daerah dan pusat yang tidak suka dikritik.
"Ini sekaligus menegaskan indikasi kriminalisasi terhadap warga yang mengutarakan pendapat di dunia maya bakal terus berlanjut. Penyebabnya, draf revisi masih menerapkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE atau penyebaran informasi yang bermuatan tentang penghinaan dan pencemaran nama baik," jelas Supriyadi dalam keterangan resminya, Jakarta, Kamis (18/8/2016).
Kondisi ini bakal diperparah dengan penghapusan Pasal 43 ayat (6) UU ITE tentang prosedur penahanan oleh penyidik kepolisian.
Ketentuan ini, sambung Supriyadi, menjelaskan penahanan boleh dilakukan apabila ada surat penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam tempo 1x24 jam.
"Polisi bisa semakin leluasa. Kami berharap semua pasal di UU ITE yang cenderung mengkriminalisiasi masyarakat dihapus, karena aturannya sudah ada di KUHP (Pasal 310 dan 311)," lanjut dia.
Supriyadi menilai harapan masyarakat untuk menghentikan berbagai bentuk kriminalisasi melalui revisi UU ITE ibarat jauh panggang dari api. Selama pasal karet pencemaran nama baik masih ada, potensi kriminaliasi tetap menjadi ancaman.
"Arah revisi UU ITE semakin buram. Inilah yang dipertahankan untuk bisa mengkriminalisasi para netizen. Pejabat 'baper' (sensitif, red) senang sekali dengan UU ini," kata dia.