Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dinilai tidak serius dalam mengumpulkan bukti kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Hal tersebut terlihat dengan terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) yang dikeluarkan Polda Riau terkait kasus tersebut pada 2015.
"Hal ini juga menunjukkan penanganan kasus Karhutla bersifat reaktif situasional, bukan pada pencegahan dan penindakan," kata Anggota Komisi IV DPR RI, Rofi Munawar di Gedung DPR, Jakarta, Senin (5/9/2016).
Rofi menyampaikan hal itu menyusul adanya upaya dari beberapa kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ingin mengajukan praperadilan atas keluarnya SP3 terhadap kasus tersebut.
Di sisi lain, Rofi menilai pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen-LHK) belum optimal mengumpulkan bukti penyebab kebakaran hutan.
Kementerian di bawah pimpinan Siti Nurbaya dianggapnya belum optimal memonitoring perkembangan tuntutan terhadap pelaku kebakaran hutan.
"Jika kasus ini dimonitoring dengan baik dan dikumpulkan bukti-bukti yang memadai dalam prosesnya, maka tidak perlu ada keterkejutan dari pihak pemerintah," tuturnya.
Rofi menjelaskan, adanya SP3 tersebut akan ditafsirkan publik bahwa peristiwa Karhutla yang berdampak hebat pada 2015 hanyalah kejadian alam biasa dan bukan tindakan pelanggaran korporasi.
Padahal, kata Rofi, kebakaran hutan dan lahan terjadi di area hutan produksi yang berdampak pada polusi udara, gangguan penyakit, hingga meluasnya asap ke negara lain.
"Tindakan pencegahan dan penindakan belum menjadi perhatian utama dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan," katanya.
"Pemerintah selama ini cenderung terjebak kepada pemadaman saat kejadian dibandingkan mengusut tuntas kebakaran yang kerap terjadi setiap tahun," tambahnya.