TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian memastikan pelaku teror bom di Medan, IAH beraksi seorang diri. IAH sama sekali tidak bergabung dengan jaringan teroris mana pun. Kendati demikian, IAH diam-diam melakukan kontak langsung dengan Bahrun Naim.
"Dia memiliki kontak langsung dengan Bahrun Naim, yang ada di Raqqa Syria," kata Tito saat rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/9/2016).
Menurutnya, IAH masih berusia 17 tahun saat beraksi. Pelaku teror bom tersebut, IAH masih berusia 17 tahun saat melakukan percobaan bom bunuh diri di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep di Jalan Dr Mansur, Medan, Minggu (28/8) pagi.
Ledakan yang diduga bom berkekuatan rendah itu terjadi sekitar pukul 08.20 WIB saat Pastor Albert Pandiangan OFM Cap (60) selesai membaca kitab suci. Saat itu, tas ransel yang dibawa pelaku meledak. Pelaku duduk di kursi barisan pertama.
"Ini fenomena baru. Lone wolf. Merekrut anak-anak di bawah 18 tahun dan kemudian membuat bom sendiri, merakit sendiri, melakukan aksi sendiri," ujar mantan Kapolda Metro Jaya itu.
Tidak hanya meledakkan bom, IAH kemudian lari ke altar membawa pisau dan kapak. Ia melompati tangga dan menghampiri Albert yang masih berada di mimbar. Albert turun dari mimbar, lalu dikejar oleh pelaku yang hendak mengampaknya.
Pelaku, yang sempat menusuk lengan kiri Albert, kemudian ditangkap umat. Polisi yang tiba sesaat kemudian lantas menyisir gereja. Pada pukul 10.10 WIB, Tim Penjinak Bahan Peledak Polda Sumut meledakkan bahan peledak yang masih tersisa di halaman gereja.
Tito menambahkan, aksi IAH merupakan fenomena terorisme baru di Tanah Air. Sebab, IAH masih berusia di bawah umur.
"Ini fenomena baru. Merekrut anak-anak di bawah 18 tahun dan kemudian membuat bom sendiri, merakit sendiri, dan melakukan aksi sendiri," ujar Tito.
Aksi IAH membuat pasangan Makmur Hasugian (66) dan istrinya, Arista boru Purba menangis. Saat menyambangi kantor DPC Peradi Medan di Jalan Sei Rokan, Makmur yang memiliki dua cucu itu meminta maaf.
"Kami orangtua dari IAH mengucapkan terima kasih atas kesempatan ini, kepada rekan-rekan pers yang menetralisir keadaan. Kami dari keluarga tidak tahu masalah ini, kenapa sempat terjadi, kami tidak ada niat supaya ada kegoncangan antarumat beragama," kata Makmur sambil menghapus air matanya.
Ia menjelaskan, sebagian dari keluarganya juga ada yang beragama Kristen. Istrinya, anak tertua dari sembilan bersaudara, satu-satunya bergama Islam. Mereka hidup berdampingan dan tidak pernah ada gesekan.
Ia kembali meminta maaf kepada seluruh umat kristiani di Kota Medan, khususnya umat Katolik. Dia mengakui peristiwa yang dilakukan anaknya akibat kurangnya pengawasan dari dirinya sebagai orangtua.
"Ini kesalahan kami keluarga yang tidak mampu mengawasi anak yang masih labil, IAH itu masih 17 tahun. Kami meminta maaf, mudah-mudahan peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi. Semoga Kepastoran Uskup Agung dapat memaafkan kejadian itu. Kami keluarga sekali lagi meminta maaf," ucapnya terbata-bata.
"Saya juga sebagai ibunya meminta maaf bagi masyarakat Sumatera Utara, khususnya bagi umat Katolik atas tingkah laku anak kami. Terutama kepada bapak Pastor Pandiangan, ini bukan kehendak kami, ini di luar jangkauan kami," ucap Arista.
Sebagai ibu, ia merasa pantas disalahkan karena kurang mengawasi anak. Tapi dia menegaskan bahwa peristiwa tersebut bukan karena perbedaan agama.
"Orangtua saya masih Kristen, saudara saya semuanya masih Kristen. Jadi tidak ada ini soal perbedaan agama," sambungnya.
Permintaan maaf secara khusus sudah dilakukan pihak keluarga, Pastor Pandiangan menyerahkan semuanya ke Keuskupan Agung. Namun karena kesibukan di keuskupan, maka orangtua dan tim kuasa hukum IAH akan bertemu pihak keuskupan.
"Kami keluarga besar akan datang dan diterima keuskupan Senin depan. Soal jamnya akan diberitahu pihak keuskupan," tambah Rizal. (tribunnews/ferdinan/kompas.com)