TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi kini sedang mencari cara agar barang-barang sitaan terkait tindak pidana korupsi bisa dimanfaatkan sebelum perkara tersebut memiliki kekuata hukum tetap.
KPK tidak mau barang-barang yang disita tersebut mengalami penyusutan nilai dan harus ada biaya pemeliharaan sementara perkaranya belum selesai.
Wakil Ketua KPK La Ode Muhamad Syarif mencontohkan mengenai kasus pidana gratifikasi dan pencicuan uang yang menjerat Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Utara Rohadi.
Rohadi memiliki sebuah rumah sakit yang juga diduga dari hasil kejahatan.
"Itu salah satunya yang sekarang diteliti oleh KPK. Apakah rumah sakit itu dibutuhkan oleh masyarakat sekitar. Kalau ternyata dibutuhkan masyarakat, kita bisa hibahkan ke negara, yang tadinya privat hospital jadi public hospital," kata Syarif, Jakarta, Jumat (9/9/2016).
Syarif mencontohkan mengenai rumah milik Irjen (Purn) Djoko Susilo di Kelurahan Sondakan, Laweyan, Solo, Jawa Tengah yang dijadikan jadi museum.
Djoko Susilo terpidana kasus korupsi simulator SIM di Kakorlantas Polri serta tindak pidana pencucian uang.
"Jadi seperti itu dan jangan hilang-hilang terus. Kelihatan kan oh iya dulu dari rumah sakit yang mahal jadi rumah sakit yang terjangkau. Jadi KPK menciptakan kesejahteraan buat orang. Jadi kemanfaatan harus tetap difungsikan," kata Syarif.
Menurut Syarif, cara tersebut juga untuk mencegah agar barang-barang hasil kejahatan tersebut tidak sampai berpindah ke orang lain padahal proses hukum sedang berjalan.
Sebelumnya, Rohadi melalui kuasa hukumnya Hendra Heriansyah berharap agar tidak menyita rumah sakit Reysa miliknya di Indramayu. Permintaan tersebut disampaikan karena rumah sakit tersebut berfungi sosial.
Hendra juga menyampaikan permintaan yang serupa terkati satu unit ambulans yang telah disita KPK. Dia berharap ambulans tersebut tetap bisa berfungsi untuk kegiatan sosial.