TRIBUNNEWS.COM -- ISWANTO (42), seorang korban selamat tragedi bom di Kedubes Australia, kawasan Kuningan, Jakarta, 9 September 2004 lalu, tak bisa melupakan peristiwa naas tersebut. "Saya tidak bermaksud menguak luka lama. Ini sudah jadi suratan bagi saya, kejadian itu tidak dapat dilupa," ujar Iswanto.
Pada 9 September 2004, bom mengguncang Kedubes Australia, di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, mengakibatkan 14 orang kehilangan nyawa dan 102 orang lainnya luka-luka. Peringatan tragedi tersebut, Sabtu (9/9) di kawasan Slipi, diisi dengan menyerukan pesan perdamaian melalui silaturahmi bertema Kekerasan Jangan Dibalas Kekerasan.
Kegiatan diadakan Forum Kuningan yang merupakan wadah para penyintas (korban selamat) bom Kuningan.
"Kami masih dan akan terus mengenang aksi brutal itu. Tragedi tersebut memang sudah berlalu, namun tidak boleh dilupakan agar masyarakat selalu waspada. Kejahatan kemanusiaan itu tidak boleh terjadi di masa depan," ujar Ketua Forum Kuningan, Mulyono Sutrisman.
Iswanto, bapak dua anak, saat itu bekerja sebagai petugas keamanan Kedubes Australia. Akibat ledakan bom, satu matanya tidak lagi berfungsi. "Bagaimana sakitnya menjadi korban bom. Saya mengalami cacat seumur hidup," katanya.
Iswanto kemudian bercerita kembali mengenai detik-detik meledaknya bom yang dibuat oleh kelompok Jamaah Islamiyah (JI) tersebut. Menurut iswanto pada Kamis pagi itu, ia berangkat kerja seperti biasanya. Tanpa ada firasat apapun ia bertugas berjaga di sisi luar Kedubes Australia.
Ia berjaga di bagian luar gerbang kedubes untuk memantau lalu lintas sekitar. Sekitar pukul 10.30, tiba-tiba ada mobil boks datang mendekat dan hendak menuju halaman kedubes.
Lantaran hendak masuk, oleh Iswanto mobil itu kemudian diarahkan ke samping jalan untuk diperiksa terlebih dahulu. "Namun baru saja saya beranjak tiga langkah, tiba-tiba bom meledak," katanya.
Saat itu ia pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi. Ketika siuman, ia hanya merasakan kegelapan. Saat itu Iswanto mengaku hanya mendengar jeritan minta tolong.
Mencoba berdiri sambil meraba-raba, Iswanto kemudian memegang seluruh tubuhnya yang penuh luka dan pakaiannya compang-camping. "Saya belum menyadari mata saya tidak bisa melihat. Saya hanya merasa mata saya panas," katanya.
Satu jam kemudian ia mendapat pertolongan pertama dan dibawa ke rumah Sakit MNC. Namun begitu tiba di rumah sakit, ia mengaku telantar lantaran saking banyaknya pasien korban bom saat itu. Ia duduk di lorong dengan harapan cepat dipanggil oleh dokter ataupun suster.
38 Titik luka
Setelah menunggu lama tidak juga mendapat repon dari petugas, ia kemudian menarik rok suster yang lewat di depannya. Rok suster tersebut ditarik hingga terjatuh di depannya.
"Saat suster tersebut melihat yang menarik roknya adalah korban bom, Iswanto kemudian ditangani. Bapak ingat saudara Bapak? Ingat nomor telepon? Saya jawab, saya ingat," katanya.
Lantaran peralatan tidak memadai, Iswanto kemudian dirujuk ke Rumah sakit Aini. Di rumah sakit tersebut ia kemudian di-rontgen.
Setelah diperiksa, Iswanto kemudian kembali dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Di rumah sakit tersebut ia mengaku baru ditangani secara serius. "Kemudian diketahui terdapat 38 titik luka di sekujur tubuh saya," katanya.