News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus Suap PK

Sang Sopir Mengaku Dua Kali Mengantar Panitera PN Jakarta Pusat ke Rumah Nurhadi

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta dengan agenda pembacaan dakwaan, Rabu (7/9/2016). Edy Nasution menjalani sidang terkait kasus dugaan suap penanganan peninjauan kembali (PK) yang diajukan pihak swasta ke PN Jakarta Pusat. TRIBUNNEWS/HERUDIN

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menghadirkan Kuzaeni, sopir Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Edy Nasution hadir menjadi saksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Rabu (28/9/2016).

Dalam persidangan, Kuzaeni mengakui, pernah mengantar majikannya ke rumah mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi Abdurrachman.

Dia dua kali diminta mengantar ke rumah Nurhadi yang terletak di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan.

"Saya hanya ingat dua kali diminta ke rumah di Jalan Hang Lekir," kata Kuzaeni saat bersaksi untuk Edy di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Kemayoran, Rabu (28/9/2016).

Menurutnya, saat pertama mengantar rumah Nurhadi sedang menggelar pesta, di dalamnya banyak tamu. Sementara yang kedua, menjenguk orang sakit.

"Waktu pertama itu ramai. Ada acara pesta. Mau cari parkir saja susah. Kalau yang kedua, katanya sedang ada yang sakit," kata Kuzaeni.

Sebelumnya, Jaksa KPK mendakwa Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution, menerima uang Rp 1,5 miliar dalam bentuk pecahan dolar Singapura, Rp 100 juta, 50 ribu dolar AS dan Rp 50 juta. Uang itu diterima terkait penanganan sejumlah perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Jaksa menguraikan, uang Rp 1,5 miliar diterima Edy dari Doddy Ariyanto Supeno, asisten eks Presiden Direktur Lippo Group Eddy Sindoro.

Pemberian itu merupakan arahan dari pegawai PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti Susetyowati, Direktur PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) Herry Soegiarto, Presiden Direktur PT Paramount Enterprise Ervan Adi Nugroho, dan Eddy Sindoro.

Uang 1,5 miliar dolar Singapura yang diterima Edy itu diberikan untuk melakukan perubahan redaksional atau revisi surat jawaban dari PN Jakpus, untuk menolak eksekusi lanjutan dari ahli waris berdasarkan putusan Raa Van Justitie Nomor 232/1937 tertanggal 12 Juli 1940 atas tanah lokasi di Tangerang atau untuk tidak mengirimkan surat tersebut kepada pihak pemohon eksekusi lanjutan.

Untuk penerimaan Rp 100 juta yang diberikan Agustriadhy merupakan arahan Eddy Sindoro. Duit itu ditujukan terkait pengurusan penundaan surat peringatan atau aanmaning pada perkara niaga PT MTP, melalui PN Jakpus sesuai putusan Singapura International Arbitration Centre (SIAC) Nomor 62 Tahun 2013 tanggal 1 Juli 2013, ARB Nomor 178 Tahun 2010.

Kemudian penerimaan 50 ribu dolar AS dan Rp 50 juta yang diberikan Doddy atas arahan Wresti dan Ervan, diperuntukkan untuk pengurusan pengajuan kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) meskipun telah melewati batas waktu dan untuk membantu perkara yang masih dihadapi Lippo Group di PN Jakpus.

"Perbuatan itu bertentangan dengan kewajibannya selaku penyelenggara negara," kata Jaksa.

Atas perbuatannya, Edy Nasution didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini