TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dijadwalkan menggelar sidang gugatan praperadilan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, atas penetapan tersangka yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa 4 Oktober 2016 besok.
"Sidang perdana 4 Oktober 2016. Kita sudah terima suratnya," kata kuasa hukum Nur Alam, Maqdir Ismail, saat dikonfirmasi, Minggu (2/10/2016).
Sementara itu, Humas PN Jakarta Selatan, Made Sutrisna mengatakan, sidang gugatan praperadilan Nur Alam terhadap KPK akan dipimpin Hakim I Wayan Karya.
"Sidangnya tanggal 4 Oktober 2016 dengan Hakim I Wayan Karya," kata Made.
Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan Nur Alam sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan wewenang dalam persetujuan dan penerbitan SK IUP di wilayah Provinsi Sultra.
Diduga, Gubernur Sultra periode 2008-2013 dan 2013-2018 itu, melakukan penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan SK yang tidak sesuai aturan perundang-perundangan yang berlaku.
Selaku Gubernur Sultra, Nur Alam mengeluarkan tiga SK kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) dari tahun 2008-2014. Yakni, SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, SK Persetujuan IUP Eksplorasi, dan SK Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi Menjadi IUP Operasi Produksi.
Diduga ada kickback atau imbal jasa yang diterima Nur Alam dalam memberikan tiga SK tersebut.
Atas perbuatannya, KPK menjerat Nur Alam dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
PT AHB diketahui merupakan perusahaan tambang yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Perusahaan tersebut melakukan kegiatan penambangan di bekas lahan konsensi PT Inco.
PT AHB juga diketahui berafiliasi dengan PT Billy Indonesia. Hasil tambang nikel oleh PT Billy Indonesia kemudian dijual kepada Richcorp International Limited, perusahaan yang berbasis di Hongkong. Perusahaan yang bergerak di bisnis tambang tersebut kemudian diduga mengirim uang sebesar 4,5 juta dolar AS atau sekitar Rp 60 miliar kepada Nur Alam lewat sebuah bank di Hongkong.