Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurachman menyangkal soal permintaan uang Rp 3 miliar dari perusahaan Lippo Grup.
Informasi yang beredar uang Rp 3 miliar digunakan untuk penyelenggaraan turnamen tenis Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP) yang memperebutkan piala Ketua MA.
"Enggak ada, bohong itu," kata Nurhadi kepada wartawan di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (6/10/2016).
Hari ini Nurhadi diperiksa terkait penyelidikan kasus korupsi yang diduduga melibatkan dirinya oleh KPK sejak pagi tadi.
Dia diperiksa sekitar delapan jam.
Saat ditanya lebih lanjut, Nurhadi menyebut bakal menjelaskan semua tudingan yang ditujukan kepadanya di pengadilan.
"Nanti saya jelaskan di pengadilan itu," kata Nurhadi.
Diberitakan sebelumnya, nama Nurhadi masuk dalam dakwaan kasus dugaan suap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Dalam dakwaan Edy, Nurhadi disebut pernah meminta uang Rp 3 miliar kepada eks Presiden Komisaris Lippo Group, Eddy Sindoro.
Uang sebanyak itu diminta Nurhadi untuk keperluan digelarnya turnamen tenis Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP) memperebutkan Piala Ketua Mahkamah Agung RI pada Agustus 2015 lalu.
Awal mula permintaan duit itu ketika PT Jakarta Baru Cosmopolitan (JBC) yang merupakan perusahaan di bawah naungan Lippo Group menghadapi perkara terkait kepemilikan tanah di Gading Serpong.
JBC mengetahui adanya permohonan eksekusi lanjutan di PN Tangerang dari pihak Tan Hok Tjie terhadap tanah yang sudah dikuasai JBC tersebut.
"Permohonan eksekusi itu diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," ujar Jaksa KPK Tito Jaelani yang membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (7/9/2016).
Dari situ, Eddy Sindoro lantas mengutus pegawai PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti Susetyowati untuk menemui Edy Nasution guna menolak permohonan eksekusi lanjutan tersebut.
Akan tetapi, karena tidak juga ditindaklanjuti Edy Nasution, Hesti melapor kepada Eddy Sindoro.
Hesti lantas meminta Eddy Sindoro membuatkan memo kepada seseorang yang diistilahkan dengan 'promotor'.
Promotor itu maksudnya adalah Nurhadi dengan tujuan agar dibantu pengurusan penolakan permohonan eksekusi lanjutan itu.
Kemudian, Edy Nasution mengontak Hesti.
Dia menyampaikan permintaan Nurhadi agar disiapkan duit Rp 3 miliar jika ingin pengurusan penolakan eksekusi lanjutannya 'lancar'.
"Terdakwa menyampaikan bahwa dalam rangka pengurusan penolakan atas permohonan eksekusi lanjutan, atas arahan Nurhadi, agar disediakan uang sebesar Rp 3 miliar," kata Jaksa.
Mengetahui ada arahan dari sang 'promotor' soal permintaan duit Rp 3 miliar, Eddy Sindoro meresponnya.
Meski begitu, Eddy Sindoro hanya menyanggupi Rp 1 miliar.
Hesti selanjutnya menyampaikan ke Edy Nasution lewat telepon.
Dalam percakapan lewat telepon gengam itu, Edy Nasution mengatakan kalau uang Rp 3 miliar yang diminta Nurhadi tersebut untuk keperluan menggelar turnamen tenis se-Indonesia di Bali.
Masih dalam percakapan telepon itu, Edy Nasution pun menego Hesty dan menurunkan 'harga' menjadi Rp 2 miliar saja.
"Akhirnya, Eddy Sindoro hanya menyanggupinya dan memberikan uang sebesar Rp 1,5 miliar," kata Jaksa.
Usai kesepakatan uang Rp 1,5 miliar, dalam dakwaan ini juga terungkap kalau Nurhadi tak mau uang dalam bentuk pecahan rupiah.
Dia menginginkan uang sebanyak itu dikirim dalam bentuk dollar Singapura.
Eddy lantas memerintahkan Presiden Direktur PT Paramount Enterprise International, Ervan Adi Nugroho untuk menyiapkan uang sebanyak itu.
Ervan kemudian menitipkan uang tersebut kepada Hesti untuk diserahkan kepada Edy Nasution.
Selanjutnya, Hesti meminta Direktur PT Dunia Kreasi Keluarga, Doddy Ariyanto Supeno untuk memberikan uang Rp 1,5 miliar tersebut kepada Edy Nasution.
Penyerahan uang itu disepakati dilakukan di Hotel Acacia, Jakarta Pusat pada 26 Oktober 2015.
Usai pemberian uang, barulah terbitlah surat jawaban dari PN Jakpus pada sekitar November 2015 atas permohonan eksekusi lanjutan ahli waris Tan Hok Tjie sesuai Putusan Raad Van Justitie Nomor 232/1937 tertanggal 12 Juli 1940.
Namun, setelah diperiksa, isi surat tersebut tidak sesuai dengan permintaan yang dikirim melalui memo Eddy Sindoro kepada Nurhadi.
Setelah surat dipelajari Hesti, pada pointer terakhir pada pokoknya menyatakan bahwa "terhadap objek eksekusi yang diduduki PT JBC belum dapat dieksekusi."
Tak sesuai memo, Hesti meminta Edy Nasution melakukan revisi atau perubahan redaksional pada pointer terakhir surat tersebut.
Awalnya berbunyi "belum dapat dieksekusi" diganti menjadi "tidak dapat dieksekusi".