TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) membuat catatan atas dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada sektor penegakan hak asasi manusia.
Dalam catatannya, Kontras menilai, nyaris tidak ada hal yang signifikan dari hasil kerja pemerintah di sektor penegakan HAM.
Bahkan, ancaman pelanggaran HAM cenderung meningkat.
Baca: Dua Tahun Jokowi, Indef: Peringkat Daya Saing Global Indonesia Malah Turun
Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan, selama ini Presiden Joko Widodo mengklaim keberhasilannya di sektor pembangunan dan infrastruktur, namun lemah dalam dinamika keamanan, dan penegakan HAM.
"Kami membuat catatan untuk menilai dua tahun masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Bisa dibilang hasil kerja pemerintah soal HAM itu nol besar," ujar Haris, saat memberikan keterangan, di Kantor Kontras, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (20/10/2016).
Pada kesempatan yang sama, Wakil Koordinator Kontras Puri Kencana Putri menilai, Presiden Jokowi mengambil langkah kontroversial pada tahun pertama kepimpinannya.
Saat itu, kata Puri, Presiden Jokowi mengangkat isu rekonsiliasi dan jalur non yudisial untuk penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Figur politik seperti Luhut Binsar Pandjaitan, saat menjabat Menko Polhukam, membangun dominasi argumentasi bahwa rekonsiliasi adalah jawaban dari semua masalah pelanggaran HAM.
Menurut Puri, kebijakan Presiden tersebut memberi dampak negatif kepada masyarakat.
Pemerintah dinilai berupaya untuk mendidik masyarakat untuk menyelesaiakan persoalan di luar mekanisme hukum.
"Pemerintah belakangan ini berupaya mendidik masyarakat untuk menyelesaikan persoalan di luar jalur hukum. Kasus besar seperti 1965 akan diselesaikan dengan cara musyawarah bukan dengan rule of law," ujar Puri.
Di sisi lain, kata Puri, lembaga-lembaga negara yang khusus bertugas menjadi penegak HAM dikerdilkan melalui kompromi-kompromi hukum.
Komnas HAM dinilai mendukung agenda tersebut.
Hal ini dinilainya bertentangan dengan mandat Komnas HAM yang menjadi tim penyelidik untuk dugaan kasus-kasus pelanggaran HAM berat guna dibawa pada proses akuntabilitas yang lebih maju yakni Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Sementara, Kejaksaan Agung juga menjadi pihak yang turut serta mempelopori isu rekonsiliasi nir-akuntabilitas.
Beberapa kali Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menegaskan bahwa sulit untuk menemukan bukti dan saksi agar kasus pelanggaran berat HAM bisa diproses melalui pengadilan HAM ad hoc.
Sejumlah kasus pelanggaran berat HAM masa lalu yang berhenti proses penyelidikan dan penyidikannya antara lain Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.
"Kejaksaan Agung juga terus membangun argumentasi bahwa tidak ada bukti-bukti dan saksi-saksi yang menguatkan agar kasus-kasus pelanggaran berat HAM diproses melalui mekanisme UU Pengadilan HAM," papar dia.
Penulis : Kristian Erdianto