News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ramai Perdebatan di Medsos soal Impor Cangkul dari China, Benarkah? Ini Penjelasan Pemerintah

Penulis: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi cangkul.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam sepekan terakhir sejumlah media online memberitakan soal impor cangkul dari China.

Bahkan di media sosial, perdebatan soal impor cangkul ini mengemuka.

Beberapa netizen membantah impor itu dan menyebutnya sebagai berita lama sebab impor cangkul dari China terjadi di 2002 lalu.

Namun pemerintah berkata lain.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Dody Edward mengatakan, pihaknya memang memberikan izin kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia untuk mengimpor kepala cangkul pada Juni 2016.

Dia menjelaskan, izin tersebut berakhir pada Desember 2016.

Dari total izin impor kepala cangkul 1,5 juta unit, realisasi impornya hanya sebesar 5,7 persen atau 86.190 unit.

"Jadi, mengapa masih impor, memang karena masih dibutuhkan. Impornya juga bukan dalam bentuk utuh, hanya kepala cangkulnya. Jadi, masih perlu disempurnakan di dalam negeri," kata Doddy di Jakarta, Senin (31/10/2016) seperti dilansir Kompas.com.

Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan kaget mengenai kebijakan ini.

Baca: Ketua MPR Heran, Cangkul Diimpor dari China

Dia menyentil kebijakan pemerintah yang mengimpor cangkul dari China.

Politisi Partai Amanat Nasional ini memandang bahwa negara Indonesia mempunyai segalanya untuk berdaulat dan mandiri.

"Kita ini harus berusaha keras untuk bisa mandiri, bayangkan mosok cangkul saja impor, daging impor, garam saja juga impor," ujar Ketua MPR, Zulkifli Hasan usai menghadiri pelantikan pengurus DPW Perempuan Amanat Nasional di gedung Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) Sabtu (29/10/2016).

Zulkifli menyampaikan, sebenarnya Indonesia bisa mandiri.

Indonesia mempunyai segalanya untuk bisa mandiri dan berdaulat.

Baik berdaulat misalnya di bidang pangan maupun alat-alat pertanian.

"Cangkul kita bisa buat, mosok cangkul saja impor ya repot," ucapnya.

Menurut dia untuk bisa mandiri dan berdaulat tentu perlu dukungan dari pemerintah pusat maupun daerah.

Selain itu juga dukungan dari perguruan tinggi yang ada di Indonesia.

"Tidak bisa dipungkiri, kita bisa berdaulat pangan terutama, kalau didukung kemampuan teknologi. Sehingga perlu bekerjasama dengan kampus maupun stakeholder lainya bisa dipercepat," katanya.

Nah, ternyata kebijakan mengimpor cangkul dari China bukanlah barang baru.

Setidaknya di sejumlah pasar tradisional di Kabupaten Semarang, cangkul asal pabrikan China ini sudah lama diperjualbelikan.

"Kalau sejak kapan lupa saya, tapi sudah lama cangkul China ini dijual," kata Sri (45) pemilik kios Blok D 13, Pasar Babadan yang khusus menjual alat-alat pertanian saat ditemui, Senin (31/10/2016).

Menurut Sri, harga cangkul asal China lebih mahal dibandingkan dengan cangkul produksi dalam negeri. Cangkul asal China dihargai Rp 85.000 per buahnya. Sedangkan cangkul produksi sebuah pabrik asal Surabaya hanya Rp 35.000, satu buahnya. Meski demikian, cangkul asal China lebih laku karena lebih awet.

"Banyak yang suka cangkul China karena kekuatannya 10 kali lipat. Kalau beli yang lokal, sudah ganti sepuluh kali, cangkul yang China ini masih awet," ujarnya.

Sepintas, cangkul China yang dijual di kios milik Sri ini tidak begitu kentara perbedaanya dengan cangkul buatan lokal. Hanya sedikit lebih lebar dan diberi cat warna hitam pada daun cangkulnya.

Ada cap timbul berupa dua bulatan dan stiker bulat warna hijau putih bergambar ayam dan tulisan China. Sementara cangkul pabrikan lokal, diberi cat biru pada daun cangkulnya dan stiker prisma warna hijau putih dan bergambar ayam jago.

Sri lantas menunjukkan letak keawetan cangkul asal China ini. Yakni antara mata cangkul dengan bawak atau lubang tangkai tidak ada sambungannya. "Kalau yang dari Surabaya ini, cangkul dengan lubang gagangnya itu besinya sambungan," ucapnya.

Berdasaran pengalamannya, penggunaan cangkul impor dengan cangkul lokal juga berbeda. Kata Sri, cangkul impor lebih banyak dipakai untuk proyek-proyek besar, sedangkan proyek-proyek skala rumahan lebih banyak memakai cangkul pabrikan lokal.

"Seperti Rusunawa, Nissin, Sidomuncul yang ambil di saya kebanyakan yang cangkul China. Tapi kalau perumahan itu cangkul biasa," ujar dia.

Selain cangkul China dan cangkul pabrikan dalam negeri, sebut dia, ada juga cangkul yang dibuat oleh industri rumah tangga, yakni yang dibuat oleh para pandai besi. Jenis cangkul ini juga lebih kuat dari cangkul pabrikan lokal dan lebih disukai oleh para petani.

"Harganya di atas pacul pabrikan Indonesia, tapi banyak yang suka," katanya.

Berbeda dengan Sri, penjual cangkul lainnya di Pasar Babadan, Ika Susanti justru menjual cangkul asal China yang kualitasnya jauh di bawah cangkul buatan lokal.

Ika menjual cangkul buatan China Rp 40.000, sedangkan cangkul lokal bisa mencapai Rp 70.000 per buah.

Pembeli jenis cangkul lokal ini, kata Ika, kebanyakan adalah dari kalangan tukang bangunan dan rumah tangga.

"Kalau di tempat saya lebih mahal yang lokal. Yang lokal kayak gini kan tebal-tebal mas, RP 70.000 sudah termasuk murah. Kalau yang tipis-tipis paling buat praktik di sekolah, buat SMK-SMK pertanian itu to," ujar Ika, saat ditemui pada Selasa (1/11/2016) siang.

Senada dengan Ika, penjual alat pertanian lainnya di Pasar Babadan, Sugeng Sujarwanto mengungkapkan, mata cangkul yang diimpor dari China yang dijual di kiosnya secara kualitas memang kurang bagus. Namun justru lebih laku daripada mata cangkul buatan lokal, karena harganya lebih murah.

"Kalau lokal, sambungan bajanya itu lebih keras daripada yang impor. Kalau laris ya laris yang murah, karena itu kadang cuma dipakai buat bangunan," kata Sugeng.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini