TRIBUNNEWS.COM, SUMEDANG- Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso mengungkap, ada 72 jaringan internasional di Indonesia.
Ia menegaskan penanganan narkotika tidak bisa dengan cara yang biasa-biasa saja karena, selain masuk ke seluruh wilayah, juga masuk instansi dan lembaga pemerintah
"Sekarang yang beroperasi ada 72 jaringan internasional di Indonesia. Satu sama lain tidak ada hubungannya. Mereka berdiri sendiri dan mereka eksis mengedarkan. Ini ancaman bagi kita," ujar Buwas dalam ceramah umum di kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Jumat (16/12/2016).
Ia mengatakan, pihaknya mencatat dari setiap jaringan yang ada itu nilai transaksinya dalam tiga bulan mencapai Rp 3,6 Triliun. "Kalau umpamakan satu jaringan Rp 1 triliun (per bulan), maka 72 jaringan sudah pasti Rp 72 triliun. Ini fakta bukan kami mengira-ngira, faktanya demikian," kata mantan Kabareskrim Polri itu.
Buwas menambahkan, sejumlah negara, seperti Kolombia, Meksiko, Amerika, Belanda dan Australia membolehkan pengunaan narkotika untuk dikonsumsi secara bebas. Namun, langkah itu bukan hal yang patut dibanggakan. Menurut Buwas, aturan legalisasi narkotika di sejumlah negara itu diterapkan secara terpaksa.
"Di pertemuan internasional saya tantang, kami tidak akan mengikuti mereka, ganja dijadikan seperti tembakau untuk konsumsi, ini bahaya. Setelah saya dalami ternyata negara itu frustasi, enggak mampu mengatisipasi," kata Buwas.
Buwas kemudian menjelaskan alasan legalisasi narkotika di Amerika. Menurut dia, suatu kali negara super power itu hendak merehabilitasi para warganya yang menjadi pemakai narkotika.
Namun, hal itu urung dilakukan, karena biaya rehabilitasi yang dibutuhkan tiga kali lebih besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Amerika.
"Begitu juga dengan Belanda, Australia, akhirnya mereka mengambil langkah diisolir ambil satu lokasi di suatu tempat. Mau pakai (narkotika) di situ boleh, mau mati di situ boleh, yang penting tidak tersebar kemana-mana," ujarnya.
Buwas kemudian menguatkan argumentasinya, terkait narkoba yang masuk ke lembaga pemerintahan. Ia menegaskan, masih ada oknum aparatur negara yang terlibat dalam peredaran narkoba di Indonesia. "Ada keterlibatan oknum aparatur negara dalam kasus ini. Datanya ada, tapi yang jelas yang terpenting adalah bagimana cara mengatasi ini," kata dia
Adanya keterlibatan oknum aparatur negara tersebut, lanjut dia, perlu dibangunnya sebuah komitmen antara aparatur negara hingga para pimpinan instansi untuk memberantas peredaran narkoba. Jika sudah ditertibkan, kata dia, maka sinergitas antara Kepolisian dan TNI serta komitmen tersebut akan berjalan dengan baik.
Buwa juga meyoroti masih adanya kasus jaringan peredaran narkoba di lembaga permasyarakatan (lapas). Hal itu, kata dia, juga perlu ditertibkan. Pasalnya, masih ada oknum yang terlibat. Jika jaringan tersebut ditertibkan, maka dapat mengurangi 50 persen peredaran di Indonesia.
"Sampai saat ini, pengungkapan di Sidoarjo bahkan Kalimantan itu bahkan ada bandar narkoba yang sudah divonis mati tapi masih bisa mengedarkan dari dalam lapas" ucapnya.
Hal ini, kata Buwas, sebagai contoh masih adanya oknum sipir yang ijut terlibat memfasilitasi alat komunikasi kepada para terpidana tersebut. Padahal, di dalam lapas para terpidana tidak diperbolehkan menggunakan fasilitas alat komunikasi.
"Berarti ada oknum yang memasukkan (alat komunikasi). Karena perintah presiden, tahun 2017 kami akan melakukan tidnakan yang masive. Bila perlu kami akan lakukan penyerbuan manakala sudah ada bukti dan faktanya," kata dia. (tribun jabar/kcm)