TRIBUNNEWS.COM - Bagi sebagian anak-anak muda, profesi petani bukan menjadi pilihan untuk menunjang kehidupan di masa depan.
Mereka menganggap petani identik dengan kemiskinan dan juga tidak kekinian.
Tapi sangkaan itu coba untuk didobrak oleh dua anak muda, yang berprofesi sebagai petani.
Keduanya diganjar penghargaan sebagai Duta Petani Muda 2016. Siapa saja mereka dan apa yang telah mereka lakukan?
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi KBR.
“Saya ingin membuktikan bahwa seharusnya dengan banyaknya permintaan nilai dari petani-petani itu bisa meningkat. Ternyata setelah saya melihat, masih terlalu banyak rantai pasokan, orang-orang yang terlibat di sana,” ungkap Rici Solihin, salah seorang Duta Petani Muda 2016.
“Itu membuat saya tergerak. Bagaimana caranya agar petani bisa lebih makmur. Misalnya dengan mengedukasi mereka, menghubungkan dengan pasar, termasuk saya juga berkecimpung di dalamnya,” tambah Rici.
Saat ini, Rici Solihin masih berusia 26 tahun. Bermodalkan ilmu dari Manajemen Bisnis di Universitas Padjajaran Bandung, ia lantas memberdayakan petani paprika di Desa Pasir Langu, Bandung Barat.
Rici, begitu ia disapa, ingin melepaskan petani dari jerat tengkulak yang kerap melaratkan. Pasalnya, petani hanya mendapat 30 persen, sisa untungnya dinikmati tengkulak.
“Kenapa mereka memilih untuk mendistribusikan hasil pertaniannya ke tengkulak? Mereka tidak memiliki pemahaman informasi dan akses pasar seperti apa. Kedua mereka tidak memiliki modal. Ketiga, mereka juga tidak mengetahui cara mengelola hasil pertanian. Saya mencoba merangkul mereka agar mereka lebih melek teknologi. Ada ilmu manajemen pertanian. Dengan begitu, lebih mudah untuk berbagi,” ujar Rici.
Pria berkacamata ini mulai mendampingi para petani sejak 2012 silam. Dari situ, ia merintis tanaman paprika.
Di saat bersamaan, ia juga menggandeng para petani lokal untuk mendirikan komunitas yang dinamakan Segar Barokah.
Melalui komunitas itu, Rici akhirnya bisa memotong rantai panjang yang selalu menguntungkan tengkulak.
“Yang menjadi pembeda saya dengan orangtua saya adalah jika orangtua saya lebih fokus pada pemasarannya. Lalu saya mengubah mindset teman-teman petani untuk membangun kedaulatan pangan lokal, sehingga tidak bergantung pada produk impor,” terang Rici.
Kini, kebun paprika miliknya yang seluas 3.000 meter persegi menghasilkan satu ton paprika dengan omzet sekitar Rp20 juta per bulan. Dan jika digabung dengan paprika kebun petani binaan, omzet mencapai Rp50 juta per bulan.
Distribusi paprikanya malah telah sampai ke Bandung, Jakarta, dan Kepulauan Riau, Batam, Jambi, Pontianak. Bahkan pada 2012-2013, paprika desanya dieskpor ke Singapura.
Serupa dengan Rici Solihin, ada I Gede Artha Sudiarsana, pemuda berusia usia 21 tahun ini memelopori budidaya jamur tiram di Karangasem, Bali.
“Saat saya melihat fenomena di desa saya sendiri anak-anak mudanya kebanyakan memilih sektor lain, semisal parawisata, cafe-cafe, perhotelan dan lain sebagainya. Hal itu lah yang menyebabkan saya ingin kembali ke desa, setelah kuliah di Universitas Udayana, saya kembali ke desa,” ungkap Artha.
“Saya mengembangkan potensi desa saya. Sebab potensi yang ada di desa sangat luar biasa apabila dikembangkan dengan serius. Saya melihat petani adalah orang-orang yang sudah tua. Secara teknologi dan pengetahuan masih kurang. Saya merasa diperlukan anak-anak muda untuk mengembangkan potensi desa sehingga kedaulatan pangan bisa tercapai,” tambah Artha.
Kerja keras Artha berlanjut dengan membentuk ‘Gede Jamur’, yaitu usaha pertanian jamur.
Belakangan, dia menjadi produsen jamur terbesar di Bali dengan memanfaatkan limbah kayu sebagai medium tanaman jamur.
Malahan, produk jamurnya ditangani secara organik tanpa menggunakan bahan kimia.
Pemuda yang masih berstatus sebagai Mahasiswa di Universitas Udayana ini punya cita-cita, setelah lulus nanti ingin menekuni profesi orangtua dan saudara-saudara kandungnya sebagai petani.
“Di desa saya, masih saya saja anak muda yang memilih sektor pertanian. Tapi saya sudah membentuk kelompok tani yang saya namakan Pertiwi Besari. Tujuannya untuk mengajak generasi muda untuk bertani. Kemudian saya juga memberikan pemahaman kepada petani setempat untuk menggunakan teknologi yang tidak konvensional,” ungkap Artha.
Dan dari usaha jamur itu, omzet yang dikantongi Rp50 juta per bulan.
Rici Solihin dan I Gede Artha adalah duta petani muda pilihan LSM Oxfam Indonesia. Selain dua pemuda ini, ada delapan lagi yang terpilih menjadi duta petani muda. Mereka terpilih dari lima ratusan yang mendaftar.
Salah satu juri, Dini Widiastuti mengatakan, Duta Petani Muda merupakan program yang tujuannya memotivasi para petani muda, karena mengingat jumlah petani muda saat ini terus menurun.
“Kami ingin mencari petani muda. Tapi bukan petani seperti orangtuanya, yang selalu memegang cangkul saja. Melainkan petani yang lebih mengedepankan teknologi, petani yang bisa membuka jaringan hingga ke sektor logistik dengan memanfaatkan teknologi. Misal melalui branding dan packaging yang bagus, sehingga bisa diterima pasar luas,” ungkap Dini.
Bersandar pada sensus pertanian 2015, usia petani muda di atas 45 tahun mencapai 59,3 persen dengan pendidikan terbesar adalah tingkat SD yakni 70,66 persen.
Dini juga menyebut, rendahnya minat anak muda terhadap profesi petani karena mereka menilai pekerjaan tersebut tak menjanjikan. Selain itu, petani juga dianggap selalu bergelut dengan kemiskinan.
“Gerakan untuk mendorong pertanian sudah banyak. Tapi pertanyaannya, siapa yang ingin bekerja di sektor pertanian? Tidak ada anak-anak mudanya. Sementara jumlah petani anak-anak muda terus menurun. Banyak mereka yang tidak tertarik lantaran petani identik dengan kemiskinan,” ungkap Dini.
“Sedangkan kalau dilihat dari sisi non-ekonominya, anak-anak muda banyak yang tidak memilih menjadi petani karena menganggap profesi petani tidak menarik, tidak cool, dan tidak kekinian. Kami ingin mencoba mengubah paradigma semacam itu,” tambah Dini.
Penulis: Bambang Hari/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)