Laporan Wartawan TRIBUNnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA --- Aturan yang ada soal pelaksanaan pemilihan umum belum sepenuhnya sempurna menurut Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie.
Oleh karena itu menurutnya aturan tidak hanya dipahami berdasarkan kalimat yang tertulis saja.
Saat memimpin sidang di DKPP dengan terlapor Koordinator Divisi Hukum dan Penindakan Pelanggaran, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta, Muhammad Jufri di kantor DKPP, Jakarta Pusat, Selasa (27/12/2016), Jimly Asshiddiqie mencontohkan soal aturan yang mewajiban seorang petahana mengambil cuti.
"Enam bulan sebelum incumbent (red: petahana) mendaftarkan diri sudah harus cuti. Maksudnya supaya jangan menggunakan fasilitas negara, jadi memahaminya begitu," ujar Jimly Asshiddiqie.
Dalam sidang tersebut Muhammad Jufri dilaporkan oleh Advokat Cinta Tanah Air (ACTA).
Pelaporan tersebut diawali oleh pelaporan salah satu anggota ACTA ke Bawaslu atas dugaan pelanggaran yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada akhir September lalu di Pulau Pramuka.
Saat itu Ahok yang masih berstatus Gubernur DKI Jakata aktif datang menemui warga sebagai kepala daerah, namun sempat membicarakan soal keterpilihannya di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017.
Laporan ACTA akhirnya mentah, karena saat itu Ahok belum resmi ditetapkan. Selanjutnya ACTA melaporkan anggota Bawaslu terkait masalah administrasi.
Dalam kesempatan itu Ketua DKPP menjelaskan bila hanya terpaku pada kalimat yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang mengatur soal petahana harus cuti, maka perdebatan tidak bisa dihindari.
"Jadi kalau satu detik sebelum pendaftaran, dia bakal calon, bukan calon. Enam bulan (sebelumnya harus cuti) maksudnya apa, supaya tidak menggunakan fasilitas negara. Itu undang-undang, bukan cuma teks, bukan gramatikal (saja)," terangnya.