TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Insiden terbakarnya Kapal Motor (KM) Zahro Express di perairan Muara Angke, Teluk Jakarta, baru-baru ini mengisyaratkan Pemerintah perlu berbenah keras.
Upaya penyelamatan para koban di atas kapal tersebut dinilai tidak maksimal. Ironisnya, lokasi kapal yang terbakar tidak jauh dari area pelabuhan itu, justru upaya penyelamatannya lebih banyak dilakukan para nelayan, bukan oleh Bakamla, Basarnas, atau Polair.
"Pertolongan internal dan eksternalnya tidak berjalan efektif. Padahal, jaraknya hanya 1,8 km dari pelabuhan," kata Anggota Komisi VI DPR RI, Bambang Haryo Soekartono di Jakarta, Selasa (3/1/2017).
Menurut Bambang, pertolongan adalah yang dilakukan oleh nelayan. Padahal, kapal yang mengalami kecelakaan tersebut hanya 1, 8 kilometer atau 1 mil dari jarak pelabuhan yang sebenarnya sangat dekat.
"Di Filipina kalau terjadi kecelakaan serupa, petugas sudah berada di lokasi kejadian lima menit setelah insiden. Basarnas, Bakamla, dan Polisi Perairan (Polair) dinilai lambat memberikan pertolongan hingga kapal ludes terbakar dan menelan banyak korban jiwa," tegasnya.
Basarnas kata Bambang, tidak bergerak waktu awal. Sampai 20 menit setelah kejadian, justru ada nelayan. Bakamla pun menurutnya tidak bergerak dan pergerakannya cenderung lambat.
"Yang sedikit tanggap adalah Polair, tapi kurang cepat. Polair justru lebih ke arah mencari penyebab terbakarnya kapal. Ini tidak boleh dilakukan Polair, karena di Kemenhub ada Penyidik Pegawai Negeri Sipil,” terangnya.
Seharusnya lanjut politikus Partai Gerindra ini, kru atau ABK kapal membimbing penumpang agar melakukan penyelamatan dengan memberi alat keselamatan. Harus ada pengarahan yang memadai kepada para penumpang dalam menghadapi situasi darurat tersebut.
“Harus ada pengarahan dari nahkoda dan kru untuk penumpang. Harus meninggalkan kapal, sambil diyakinkan agar menggunakan alat keselamatan. Di kapal harus ada matras. Jadi, kalau di laut bisa mengembang seperti perahu karet,” tuturnya.