"Meski berlangsung aman, tapi membuka wacana baru yaitu indikasi adanya tergerusnya mainstream Islam dan mulai naiknya transnasional. Dapat kurang pas dengan situasi kebhinekaan kita," kata Tito.
Gerakan transnasional itu, kata Tito, berupaya memanfaatkan lembaga MUI dengan cara mengeluarkan fatwa tertentu yang kemudian berupaya untuk ditegakkan sebuah kelompok.
Tito mengatakan, hal tersebut cukup menguras tenaga belakangan ini mulai dari sisi pengamanan hingga proses mediasi.
Oleh karena itu, Tito pun mewanti-wanti MUI adanya ancaman tersebut.
"Jangan sampai kalau ada pihak tertentu yang memanfatkan lembaga ini, keluarkan fatwa yang membahayakan kebinekaan kita," kata Tito.
Dalam diskusi kemarin, pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD menjelaskan bahwa Fatwa MUI tidak perlu dijalankan oleh seluruh umat Islam di Indonesia.
Pasalnya, Fatwa MUI bukan merupakan hukum positif di Indonesia dan tidak diatur dalam undang-undang.
"Fatwa MUI ini bukan hukum positif yang mengikat. Jadi tidak perlu untuk diikuti. Fatwa juga bersifat otonomi bukan hetero," kata dia.
Dijelaskan Mahfud, Fatwa MUI merupakan peringatan dan imbauan dari kumpulan ulama kepada umat Islam, sehingga tidak ada hukuman bagi yang melanggar Fatwa tersebut.
"Fatwa bilang makan babi itu haram, tapi apa orang Islam tidak boleh makan babi? Ya boleh-boleh saja. Tapi kan sudah diingatkan oleh MUI," urainya.
Oleh karena itu, dia menyebut akan melanggar aturan jika terdapat pihak yang justru melakukan tindakan di luar hukum dan mengatasnamakan Fatwa tersebut.
"Apa yang dikatakan hukum positif itu, hukum yang sedang berlaku, yang diberlakukan secara resmi oleh lembaga hukum negara. Nah MUI kan tidak pernah diberlakukan sebagai lembaga negara," kata Mahfud. (tribun/rio)