TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kualitas keterangan dan pengetahuan para saksi pelapor yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) hingga sidang ke-6 kasus penistaan agama dengan terdakwa tunggal Basuki Tjahaja Purnama ternyata masih sangat minim sehingga tidak mendukung dakwaaan Jaksa.
Karena itu seharusnya JPU mengembalikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) disertai dengan petunjuk untuk disempurnakan atau memilih bersikap mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP).
“Dengan kondisi seperti ini maka Majelis Hakim nantinya tidak ada pilihan lain selain harus membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum, karena meskipun sudah 6 kali sidang, namun belum ada satupun saksi fakta yang diperiksa dan didengar keterangannya memnuhi kualifikasi KHUAP,” ujar Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Salestinus di Jakarta, Rabu (18/1/2017).
Baca: Seniman Jalanan Gelar Aksi di Sidang Ahok: Lukisan Ini Sosok Penista Agama yang Akhirnya Jadi Gila
Menurutnya, fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan justru membuktikan bahwa BAP hasil Penyelidikan dan Penyidikan bukanlah buah dari "due process of law", tetapi buah dari sikap anarkis pemaksaan kehendak massa karena kepentingan politik.
“Seharusnya dengan kualitas saksi-saksi yang demikian minim, JPU patut dinilai telah gegabah menyatakan P.21, membuat Surat Dakwaan atas dasar bukti-bukti yang sumir dan lemah. Ini jelas memperlihatkan bahwa JPU berada dalam tekanan kekuatan massa,” ulasnya.
Dari kualitas dan kualifikasi saksi yang dipertontonkan dalam persidangan ini lanjutnya sebetulnya Majelis Hakim sedang mengadili Berkas Hasil Pemeriksaan produk tekanan massa.
Baca: Massa yang Kawal Sidang Ahok Berkurang
Hal ini terbukti dari mayoritas saksi yang sudah diajukan dan bahkan akan diajukan itu tidak memiliki pengetahuan dengan kadar yang sama yaitu sama-sama tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu sebagai tempat kejadian perkara.
Apalagi, sejauh ini ujarnya, JPU belum bisa menghadirkan saksi-saksi fakta yang memenuhi syarat KUHAP. Terlebih-lebih saksi yang khusus memiliki pengetahuan tentang pokok dakwaan Jaksa.
Dengan kata lain JPU belum memperlihatkan upaya secara maksimal untuk membuktikan peristiwa pidana penistaan agama yang terjadi sebagaimana sudah dirumuskan di dalam Surat Dakwaan JPU.
“Melihat irama percepatan proses penyelidikan dan penyidikan hingga BAP dilimpahkan ke Penuntutan Pengadilan hanya dalam hitungan waktu yang terlalu singkat, bahkan tidak lazim untuk ukuran sebuah perkara yang menghebohkan, apalagi menghadapkan Basuki sebagai tersangka kemudian menjadi terdakwa, maka kita dapat melihat bagaimana hak-hak hukum Basuki untuk mendapatkan keadilan selama proses penyelidikan dan penyidikan terlalu banyak dinegasikan.
Baca: Difasilitasi Ormas, Seniman Jalanan Gelar Lukisan di Lokasi Sidang Ahok
Terutama hak untuk mengajukan saksi yang menguntungkan ketika tahapan pemeriksaan dari penyelidikan dibarengi dengan ditingkatkan tahapan pemeriksaan ke penyidikan disertai dengan ditetapkan statusnya sebagai tersangka. Ini sebuah tahapan yang dilangkahi oleh Penyelidik dan Penyidik,” tegasnya.
Padahal pemberian status tersangka menurut KUHAP, baru diberikan setelah dilakukan penyidikan, sehingga upaya untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang membuat terang tindak pidana guna menemukan siapa tersangkanya, tidak pernah dilakukan.
“Juga ketika beberapa saksi dan/atau ahli yang hendak diajukan untuk didengar guna memenuhi hak tersangka sesuai KUHAP telah dilewatkan begitu saja tanpa Basuki dan Tim Penasehat Hukum berdaya untuk memenuhinya,” tuturnya.
Namun yang mengherankan lanjutnya proses yang serba instan di Kepolisian dan Kejaksaan ketika status Basuki masih sebagai Tersangka kini berubah total menjadi lamban, mengulur-ulur-ulur waktu atau waktu tersedia justru telah diisi dengan pemeriksaan untuk mendengarkan saksi-saksi yang tidak memiliki kualifikasi saksi fakta menurut KUHAP.