TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengusulkan presidential treshold atau ambang batas pemilihan presiden sebesar 25 persen.
Anggota Pansus RUU Pemilu dari PPP, Achmad Baidowi, mengatakan angka sebesar itu dapat menghasilkan sistem pemerintahan yang stabil dan koalisi permanen dan kuat.
Namun, ia membantah bila presidential treshold yang besar hanya menguntungkan PDIP dan Golkar.
"Kata siapa? memang dua partai itu sudah pasti mendapatkan 25 persen kursi? Saya kira hasil pemilu legislatif kita belum tahu," kata Baidowi di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (19/1/2017).
Baca: Presidential Treshold Jadi Isu Paling Menarik Perhatian Publik
Baidowi juga belum yakin Golkar dan PDIP akan berkoalisi mengusung satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Apakah iya Golkar dan PDIP sudah pasti mengusung satu pasangan calon? Dengan begitu memungkinkan partai-partai bergabung dalam paket koalisi minimal 25 persen kursi dan 30 persen suara," tambah Anggota Komisi II DPR itu.
Mengenai adanya kekhawatiran calon tunggal di pilpres 2019, Baidowi mengatakan hal tersebut harus disiapkan aturannya.
Baca: Presidential Threshold Tinggi Hanya Untungkan Partai Politik Besar
Apalagi, Pilkada juga terjadi hal serupa.
"Masak di pipres tidak bisa," kata Baidowi.
Sebelumnya, Pengamat Politik, Ray Rangkuti mengatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (Presidential Threshold) hanya akan menguntungkan dua partai besar saat ini yaitu PDIP dan Golkar.
Hal itu berdasarkan pada perolehan suara pada pemilu 2014 lalu dan hanya PDIP yang dapat mencalonkan pasangannya secara mandiri tanpa perlu koalisi.
"Ya yang nantinya diuntungkan hanya PDIP dan Golkar saja. Partai-partai kecil, ya akan tetap kecil begitu-begitu saja kalau presidential threshold ini tetap dijalankan," jelasnya di Kantor Formappi, Jakarta, Kamis (19/1/2017)