TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua KPK Antasari Azhar menyeret nama Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Hary Tanoesudibjo.
Atas hal itu, Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menyayangkan bahwa informasi tersebut dibuka oleh Antasari setelah ia mendapatkan grasi.
"Harusnya apa yang diketahuinya tersebut disampaikan di ruang persidangan dan proses pembelaan hukum," ujar Erwin Natosmal kepada Tribunnews.com, Selasa (14/2/2017).
Menurut Erwin Natosmal lebih lanjut, agar tidak melebar ke isu politik, hal ini harus tunduk kepada isu hukum.
Secara hukum, jelas Erwin Natosmal, Antasari sudah mengakui kesalahannya, sehingga kemudian ia mendapatkan grasi.
Karena imbuhnya orang yang tidak mau mengakui kesalahannya, tidak mungkin mendapatkan grasi.
"Pada titik ini, harusnya kasus Antasari sudah tutup buku. Jadi tidak ada alasan lagi untuk dibuka kembali," tegas Erwin Natosmal.
Tanggapan Demokrat
Sementara itu Partai Demokrat meminta Antasari menggunakan akal sehat.
"Jadi, saya minta Antasari Azhar itu pakai akal sehat," kata Wakil Ketua Fraksi Demokrat Benny K Harman di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (14/2/2017).
Benny mengatakan kasus Antasari itu adalah tindak pidana berat dengan ancaman hukuman mati.
Kasus Antasari, kata Wakil Ketua Komisi III DPR itu, sudah ditangani polisi. Kemudian, dibawa ke Kejaksaan.
Benny menuturkan penanganan kejaksaaan dikoreksi oleh hakim melalui sidang terbuka di pengadilan negeri. Putusan PN lalu dikoreksi oleh Pengadilan Tinggi.
Putusan hakim Pengadilan tinggi dikoreksi oleh hakim Mahkamah Agung melalui kasasi.