TRIBUNNEWS.COM – Lebih dari delapan ribu orang tewas dan setengah juta rumah hancur saat gempa menimpa Nepal di tahun 2015.
Bencana gempa ini membuat ribuan orang terpaksa tinggal di tenda-tenda. Namun, masalah tak berhenti disitu saja, beberapa kasus pelecehan dan kekerasan seksual banyak menimpa warganya, khususnya para perempuan.
Karena itulah, polisi mengajarkan para pengungsi ini, terutama perempuan cara membela diri.
Salah satu kelas bela diri itu berada di Kathmandu, yaitu ibukota sekaligus kota terbesar di Nepal.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Lapangan terbuka Chabel yang terletak di timur laut Kathmandu, dipenuhi tenda-tenda terpal.
Para penghuninya merupakan korban gempa bumi yang berasal dari Kathmandu dan sekitarnya.
Sekitar 50 perempuan berkumpul membentuk lingkaran di tengah-tengah lapangan.
Mereka semua berdiri dan dengan seksama memperhatikan tiga orang polisi wanita yang berdiri di tengah lingkaran.
“Ketika ada orang yang mencoba menarik dan memaksa ibu-ibu, mereka pasti melakukannya dengan keras. Maka reaksi ibu-ibu juga harus keras. Kalau ibu lemah, maka itu akan jadi masalah,” kata Parmila.
Dua polisi memperagakan adegan perempuan biasa dan penyerang.
Anggota Polwan Pramila Khadka menjelaskan beberapa cara membela diri sementara anggota polwan lainnya memperagakan gerakan-gerakannya.
“Hari ini dan kemarin kami mengajarkan pada mereka beberapa teknik bela diri menggunakan tangan. Besok saya akan ajari mereka cara menangkap leher musuh dan menjatuhkannya ke tanah. Banyak perempuan bercerita kalau suami mereka suka menarik rambut para istri dan memukulinya. Kami nanti juga akan ajarkan cara menghadapi orang yang suka menarik rambut perempuan, ”ungkap Pramila Khadka.
Setelah polisi memberi contoh, para perempuan ini kemudian diminta berpasangan dan mempraktikkan contoh yang telah diberikan.
Salah satu peserta bela diri, Sajana Lama (21) telah mengikuti latihan bela diri ini selama tiga hari.
Setelah rumahnya di distrik Ramechhap tinggal puing dan kamar kontrakannya di Kathmandu juga ikut rubuh, kini ia tinggal di tenda selama satu bulan.
“Saya merasa butuh pelatihan ini karena situasi kami tidak aman terutama saat malam tiba dan bila sendirian. Kami juga mendengar ada kasus pemerkosaan dan kekerasan. Para pemuda mencoba menggoda dan menyentuh kami. Biasanya saya akan menghindar dan lari. Tapi sekarang saya sudah belajar cara melawannya sebelum saya lari,”ujar Sajana.
Polisi Nepal memulai kelas bela diri ini setelah terjadi dua kasus pemerkosaan dan lima kasus percobaan pemerkosaan di tempat penampungan pengungsi ini.
“Kasus ini terjadi terutama karena nilai sosial kami atau pola pikir pria yang memandang tubuh perempuan bisa digunakan sebagi komoditas,” ungkap dokter Renu.
Dokter Renu Adhikari adalah direktur Pusat Rehabilitasi Perempuan.
Timnya telah mengunjungi 11 distrik yang mengalami dampak gempa dan membantu perempuan agar terhindar dari kemungkinan aksi kekerasan.
Dia mengatakan gempa bumi menambah daftar panjang serangkaian kerentanan terhadap perempuan dan remaja perempuan.
“Para korban mengalami perasaan tertekan, frustrasi, dan merasa masa depan yang tidak pasti. Dalam situasi seperti ini orang selalu mencari cinta dan mencari lingkungan yang peduli. Dan orang yang ingin memakai kesepatan ini akan berpura-pura mereka penuh dengan cinta. Contohnya Rasuwa. Saya melihat wajah-wajah yang tidak dikenal menggoda gadis-gadis muda, dan menatap nanar para perempuan. Bila Anda bertanya siapa mereka dan apa yang mereka lakukan, mereka menjawab mereka mencoba untuk membantu para perempuan,” jelasnya.
Peserta bela diri lainnya, Tashi Doma (30) mengaku sangat membutuhkan latihan seperti ini.
“Saya benar-benar ingin bisa lari. Di rumah, ipar saya memukuli saya, suami saya memukul saya. Hidup saya sangat menyakitkan. Tapi pelatihan ini memberi saya rasa percaya diri. Sekarang saya pikir saya bisa melindungi diri sendiri dan bisa pergi dari rumah sebelum saya cedera karena keluarga memukuli saya,” jelas Tashi.
Penulis: Rajan Parajuli /Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)