News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Korupsi di PT Timah

Pemerintah Diwanti-wanti Berhati-hati Usut Korupsi Timah

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pakar hukum pidana, Jamin Ginting, di Program Breaking News Kompas TV, Rabu (24/7/2024).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diingatkan untuk berhati-hati dalam penegakan hukum di sektor pertambangan karena akan berdampak buruk terhadap kondisi APBN dan investor yang akan menanamkan modalnya di Tanah Air. 

Pakar hukum pidana korporasi dan korupsi dari Universitas Pelita Harapan, Jamin Ginting, menilai kasus lima perusahaan yang ditersangkakan Kejagung terkait dugaan korupsi tata niaga timah dengan kerugian Rp300 hanya lah pihak yang menjalankan pekerjaan sesuai kontrak dengan PT Timah.

Ia menilai perusahaan-perusahaan tersebut tak layak dimasukkan sebagai tersangka korporasi dalam tindak pidana korupsi. 

“Iya, kalau dia menyuap pimpinan PT Timah untuk mendapatkan pekerjaan. Nah itu korupsi. Itu bagiannya dalam tipikor. Atau pejabat di PT Timah yang merupakan penyelenggara negara menyalahgunakan kewenangannya gitu. Jadi enggak bisa dinyatakan sebagai tipikor kalau hanya cuma terkait dengan kerusakan lingkungan di daerah IUP-nya yang dikerjakan oleh swasta dan diminta pertanggungjawabannya sebagai tipikor. Enggak nyambung gitu, enggak ada kaitannya dengan tipikor harusnya ya,” kata Jamin kepada wartawan, Kamis (9/1/2025).

Terkait kerugian negara yang disebut mencapai Rp300 triliun, Jamin menyebut majelis hakim tak ada dalam pertimbangannya menyatakan nilai kerugiannya sebesar itu.

Menurutnya, kerugian negara itu hanya diungkap dalam dakwaan saja.

Lebih jauh, ia meyinggung keberadaan Pasal 14 di UU Tipikor yang berfungsi sebagai penentu apakah perbuatan pidana lain dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi seperti merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. 

“Kita patuh dengan aturan yang sudah tertuliskan. Enggak boleh diabaikan. Jadi, sekarang ada paradigma seakan-akan kejaksaan itu berwenang untuk menyatakan tipikor semua perbuatan yang terkait dengan penambangan ilegal, perambahan hutan, kerusakan lingkungan hidup. Jadi, dalam perluasan makna kewenangannya terlalu jauh. Semua ditarik tipikor. Padahal ada undang-undang lain yang sudah mengatur secara jelas, Secara cermat, sudah mengatur. Tapi enggak pernah dipakai,” ujarnya.

“Jadi, buat apa ada pidana dalam undang-undang lingkungan hidup kalau semuanya dijadikan tipikor. Kalau memang kerugian negara, ya pasti rugi. Enggak mungkin enggak ada rugi. Tapi enggak semua kerugian negara itu adalah tipikor. Kalau begitu, orang enggak bayar pajak, masukin aja tipikor,” sebutnya. 

Efek domino terhadap sektor pertambangan juga disuarakan Pakar Hukum Pertambangan, Abrar Saleng. Ia menyebut ada bahaya pelaku tambang bisa "ditipikorkan”.

“Yang pasti dengan putusan-putusan hakim yang tidak mempertimbangkan aspek teknis dan hukum pertambangan itu akan mempengaruhi investasi pertambangan. Karena penambang-penambang akan takut ditipikorkan. Kalau dulu ada istilah kriminalisasi, kalau sekarang ini ditipikorkan. Kalau namanya korupsi kan semua takut. Karena korupsi itu perbuatan yang sangat tercela, bahkan di dalam hukum disebut extra ordinary crime,” kata Abrar. 

“Kalau semua tipikor, tidak ada lagi orang menambang. Dan ingat, bukan hanya Indonesia ada tambang, tempat lain juga ada. Malaysia ada, Laos ada, Kamboja ada. Ini mempengaruhi iklim investasi. Dan akan mempengaruhi penerimaan negara yang sangat besar, khususnya sektor migas dan minerba,” katanya.

Kejaksaan Agung saat ini diketahui telah menetapkan lima korporasi sebagai tersangka dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015–2022.

Jampidsus Febrie Adriansyah mengemukakan korporasi yang ditetapkan tersangka yaitu PT RBT, PT SIP, PT TIN, PT SB, dan CV VIP.

"Jaksa agung memutuskan bahwa kerugian kerusakan lingkungan hidup akan dibebankan kepada perusahaan sesuai kerusakan yang ditimbulkan masing-masing perusahaan tersebut," kata Febrie saar konferensi pers di Kejagung, Kamis (2/1/2025).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini