TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam rapat paripurna semalam, MA melantik Oesman Sapta Odang (OSO), Nono Sampono dan Darmayanti Lubis sebagai pimpinan DPD.
Pengamat Politik Ray Rangkuti menilai pengangkatan dan pengangkatan sumpah OSO wujud Mahkamah Agung (MA) mengabaikan putusannya sendiri.
"Pengangkatan OSO sembari mengabaikan putusan MA yang terbaru dapat dilihat sebagai indikasi bahwa semangat politik internal DPD dapat melampaui aturan-aturan tertulis," ujar Ray Rangkuti kepada Tribunnews.com, Rabu (5/4/2017).
Tentu hal ini menjadi sesuatu yang serius dan akan berdampak makin tidak adanya acuan yang jelas bagi langkah dan keputusan politik di Indonesia.
Ia juga melihat masih belum bulatnya penerimaan kepemimpinan OSO oleh anggota DPD.
Selain karena sifat dari kepemimpinan yang dianggap tidak sesuai tatib, juga karena kemampuan untuk melakukan dialog-dialog kompromi di lingkungan mereka belum terbangun dengan baik.
"Tentu saja sepanjang belum ada pengakuan resmi dan menyeluruh dr anggota DPD atas kepemimpinan OSO, maka ia masih dapat dilihat sebagai wakil ketua MPR dari unsur DPD," ujarnya.
Sampai tiba akhirnya ada pengakuan formal dari lembaga DPD, menurutnya, sudah semestinya OSO membuat keputusan yang tegas antara tetap menjabat sebagai wakil ketua MPR atau Ketua DPD.
Karena menjabat dua jabatan tersebut sekaligus adalah tindakan yang tidak patut. Harus ada pemisahan yang tegas.
Pertanyakan Sikap MA
Wakil Ketua DPD RI periode 2014-2019 GKR Hemas mempertanyakan sikap Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial Suwardi.
Pasalnya, Suwardi telah melantik Pimpinan DPD Oesman Sapta Odang, Nono Sampono dan Darmayanti Lubis pada Rapat Paripurna DPD, Selasa (4/4/2017).
Padahal, GKR Hemas menyatakan tidak pernah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPD.
"Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial, Suwardi agar segera menjelaskan ke ke publik,mengapa melakukan tindakan pengambilan sumpah yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung," kata GKR Hemas di rumah dinas, Kuningan, Jakarta, Rabu (5/4/2017).
GKR Hemas mengaku hal tersebut tidak terkait mempertahankan kekuasaan. Tetapi, ia mengingatkan politik harus tunduk pada hukum.
Hemas pun mengultimatum Suwardi untuk menjelaskan ke publik mengenai pelantikan Pimpinan DPD baru dalam waktu 1X24 jam.
"Jika kemudian Wakil Ketua Mahkamah Agung, yang mulia Suwardi tidak dapat menjelaskan ke publik secara rasional dalam waktu satu kali 24 jam, alasan dibalik tindakan pengambilan sumpah tersebut. Maka demi menjaga keluhuran martabat dan kewibawaan Mahkamah Agung, kami minta dengan segera Mahkamah Agung untuk membatalkan tindakan pengambilan sumpah," ujar GKR Hemas.
Hemas mengaku situasi DPD RI telah berlangsung begitu cepat.
Menurut Hemas, situasi DPD menjadi potret besar negara dan bangsa ini dalam hal masa depan penegakan hukum.
"Berbagai dinamika tejadi mulai yang menampilkan rasionalitas hingga diluar batas nalar politik dan hukum," kata Hemas.
Hemas menegaskan direbutnya pimpinan sah DPD RI diluar batas rasionalitas nalar, politik dan hukum.
Selain itu, Hemas mengaku tidak pernah menyatakan mundur dari jabatannya sebagai pimpinan DPD RI yang sah periode 2014-2019.
"Sehingga, tidak pernah terjadi kekosongan Pimpinan DPD RI untuk kemudian ada dasar bagi Pemilihan Pimpinan DPD RI yang dipimpin oleh Pimpinan Sidang Sementara," kata Hemas.