Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) mempertanyakan konsistensi Mahkamah Agung (MA) dalam polemik pimpinan DPD RI.
Aktivis Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), Adery Ardhan dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Kamis (6/4/2017) menyatakan, kericuhan di DPD beberapa hari lalu bermula dari Putusan Mahkamah Agung terkait permohonan judicial review atas Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah RI Nomor 1 Tahun 2017.
Dalam Putusan yang membatalkan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah RI terkait pembatasan masa jabatan pimpinan DPD RI, rupanya Mahkamah Agung salah menyebut “DPD” menjadi “DPRD”.
Hal ini yang kemudian menimbulkan perdebatan di DPD terkait kesalahan tersebut.
Merespon adanya kesalahan pengetikan frasa “DPD” menjadi “DPRD” dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung kemudian buru-buru memberikan klarifikasi bahwa meski terdapat kesalahan dalam pengetikan, akan tetapi hal tersebut tidak merubah substansi dari putusan tersebut.
Akhirnya DPD RI sepakat mencabut Peraturan Tatib Nomor 1 Tahun 2017 dan menggantinya dengan Peraturan Tatib Nomor 3 Tahun 2017.
Dari peristiwa ini, secara kasat mata, DPD RI seolah-olah RI tunduk pada putusan Mahkamah Agung a quo.
Dari persitiwa tersebut terdapat hal-hal yang perlu disoroti terkait bagaimana Mahkamah Agung bersikap terhadap peristiwa ini.
Langkah DPD RI dengan melakukan pengocokan ulang susunan pimpinan setelah putusan keluar tentu bertolak belakang dengan isi putusan yang menolak mekanisme penggiliran jabatan.
Bagaimanapun putusan sudah mengikat begitu dibacakan, bukan pada saat setelah Mahakamah Agung memberikan klarifikasi.
Akan tetapi, respon Mahkamah Agung yang kemudian justru menyumpah Oesman Sapta Odang (Ketua DPD RI Terpilih) melalui kehadiran Hakim Agung Suwardi menimbulkan pertanyaan.
"Karena secara langsung berarti Mahkamah Agung menyetujui pengangkatan ketua DPD RI yang baru.
Sikap ini justru menunjukkan inkonsistensi Mahkamah Agung," ujarnya.
Disatu sisi, Mahkamah Agung dalam putusannya yang menyebutkan “tidak sepatutnya apabila jabatan pimpinan DPD tersebut dipergilirkan yang dapat menimbukkan kesan berbagi kekuasaan”.
Di sisi lain Mahkamah Agung, melalui Hakim Agung Suwardi bersedia untuk menyumpah Pimpinan DPD RI terpilih hasil dari mekanime penggiliran.
Dalih Mahkamah Agung yang mengatakan bahwa alasan Mahkamah Agung bersedia untuk menyumpah pimpinan DPD RI dikarenakan “DPD RI telah mempunyai itikad baik untuk mematuhi putusan Mahkamah Agung dengan telah mencabut Peraturan Tatib Nomor 1 Tahun 2017, dengan Peraturan Tatib Nomor 3 Tahun 2017.”
Tentu tidak menjawab, imbuhnya, mengapa Mahkamah Agung inkonsisten terhadap putusan yang sudah dikeluarkan dengan pelantikan pimpinan DPD RI hasil dari mekanisme penggiliran.
"Karena bagaimanapun, Putusan berlaku seketika begitu dibacakan, bukan setelah dijelaskan," jelasnya.
Inkonsistensi ini juga menunjukkan bahwa Mahkamah Agung belum melaksanakan tugasnya untuk menjaga kesatuan hukum dengan baik.
Penegakkan hukum yang inkonsisten akan berimplikasi hilangnya kepastian hukum.
Selain itu, dari peristiwa ini, Mahkamah Agung juga perlu berhati-hati dalam membuat salinan putusan, agar kesalahan-kesalahan penulisan tidak terjadi, karena dapat berdampak besar.
"Hal ini sebagai upaya menjaga kualitas putusan Mahkamah Agung sekaligus mengembalikan kepercayaan publik sebagaimana dicita-citakan Mahkamah Agung," pesannya. (*)