Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai DPR tidak perlu protes terkait pencegahan Setya Novanto keluar negeri oleh KPK.
Sebab, kewenangan KPK mencekal seseorang yang masih dalam status sebagai saksi adalah sesuatu yang diberikan oleh UU yang ikut dibuat oleh DPR dengan Presiden.
Sementara pengaturan yang sama juga ada di dalam UU Keimigrasian, tetapi telah dibatalkan MK dalam uji materil.
Dengan demikian, kata Yusril, hanya orang yang berstatus tersangka saja yang baru bisa dicekal, sedangkan saksi tidak.
Masalahnya, Yusril mengatakan UU KPK yang membolehkan mencekal saksi, masih berlaku dan belum pernah diubah atau dibatalkan oleh MK.
"Jadi kalau Novanto keberatan dicekal oleh KPK sedangkan statusnya baru sebagai saksi, maka dia bisa mengajukan uji materil ke MK untuk membatalkan pasal dalam UU KPK yang membolehkan mencekal seseorang yang baru berstatus saksi," kata Yusril melalui pesan singkat, Rabu (12/4/2017)
Cara lainnya, Yusril menyarankan Novanto bisa menggugat KPK ke Pengadilan TUN untuk menguji apakah keputusan cekal itu beralasan hukum atau tidak.
Menurut Yusril ,Setya Novanto sebagai Ketua DPR sudah sepantasnya melakukan perlawanan secara sah dan konstitusional dengan menempuh jalur hukum. Bukan DPR melakukan protes ke Presiden.
"Apalagi semua tahu bahwa KPK adalah lembaga indenden yang bukan bawahan Presiden," kata Yusril
Sebelumnya, Pimpinan DPR akan menyurati Presiden Joko Widodo mengenai keberatan terhadap pencegahan Setya Novanto keluar negeri. Pencegahan itu dilakukan KPK terkait kasus e-KTP.
"Kesimpulannya kami akan bersurat kepada presiden. Inti keberatan itu adalah, keberatan kami, akhirnya menjadi keberatan DPR atau keberatan Bamus, bahwa tindakan pencekalan kepada ketua DPR telah tidak mempertimbangkan hal-hal yang ada," kata Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dalam jumpa pers di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (11/4/2017). Fahri didampingi Wakil Ketua DPR Fadli Zon.
Fahri mengatakam keputusan tersebut diambil dalam rapat badan musyawarah (Bamus) DPR yang diikuti seluruh fraksi kecuali Hanura dan Demokrat. Menurut Fahri, situasi saat ini memerlukan sikap yang kompak serta kelembagaan secara resmi.
"Karena kami ingin mengambil satu sikap, yang bukan sikap rapim saja, tetapi paling tidak sikap Bamus, sehingga bisa mewakili keterwakilan semua fraksi di DPR," kata Fahri.