TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah melayangkan penjadwalan ulang memeriksa Anggota DPR dari Hanura Miryam S Haryani (MSH) yang kini berstatus tersangka kasus memberikan keterangan yang tidak benar dalam persidangan korupsi e-KTP, dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
Penjadwalan ulang dilakukan karena pada panggilan pertama sebagai tersangka, Kamis (13/4/2017) lalu, Miryam tidak hadir lantaran ada kegiatan lain yang tidak bisa ditinggalkan dan sudah terjadwal.
"Sebelumnya kami sudah panggil MSH sebagai tersangka tapi tidak datang. Ada surat dari kuasa hukum yang menyatakan MSH ada kegiatan lain dan minta jadwal uang. Kami jadwal ulang Selasa (18/4/2017) besok," terang Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, Senin (19/4/2017) di KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Baca: KPK Jelaskan Alasan Cegah Ketua DPR Setya Novanto ke Luar Negeri
Baca: Miryam Haryani Mendadak Hilang dari DPR
Dalam kesempatan itu, Febri mengingatkan Miryam agar kooperatif memenuhi panggilan.
Karena apabila tidak hadir, penyidik KPK akan melayangkan panggilan yang disertai dengan surat perintah membawa atau jemput paksa.
"Kami harap MSH hadir di pemeriksaan besok supaya penanganan kasus berlanjut dan efisiensi waktu juga," tegas Febri.
Lebih lanjut soal pemeriksaan pengacara Elza Syarif hari ini yang diperiksa sebagai saksi untuk Miryam, Febri menjelaskan penyidik ingin menggali soal pertemuan antara Elza dengan Miryam, pihak yang diduga menekan Miryam serta motif Miryam mencabut seluruh BAP miliknya.
Untuk diketahui, Miryam merupakan tersangka keempat di kasus korupsi e-KTP setelah Irman, Sugiharto, dan Andi Agustinus (AA) alias Andi Narogong yang ditangani KPK.
Atas perbuatannya, Miryam dijerat dengan Pasal 22 jo Pasal 35 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman 3-12 tahun penjara.
Miryam diduga dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar di persidangan e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.