TRIBUNNEWS.COM, TORAJA - Sebagian besar dari kita tidak suka memikirkan atau membicarakan tentang kematian, namun di Toraja, Sulawesi Selatan, kematian menjadi bagian yang selalu dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari.
Ruang tamu berdinding kayu, tanpa kursi, meja, dan hanya dihiasi gambar-gambar yang tergantung di dinding, tampak dipenuhi beberapa orang yang tengah mengobrol. Aroma kopi menyeruak di tempat itu.
"Bagaimana kabar ayahmu?" tanya salah seorang tamu kepada tuan rumah, dan tiba-tiba suasana berubah.
Semua orang melirik ke sebuah kamar yang terletak di sudut ruangan. Di sana ada seorang pria tua berbaring di tempat tidur berwarna-warni.
"Ia masih sakit," jawab putrinya, Mamak Lisa, dengan tenang.
Sambil tersenyum, Mamak Lisa beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan ke pembaringan ayahnya. Dengan lembut ia menggoyangkan tangan ayahnya. "Pak, ada tamu sini ingin melihatmu. Saya harap kehadiran mereka tidak membuatmu marah atau tidak nyaman," katanya.
Lalu ia mengajak saya untuk memasuki kamar dan bertemu Paulo Cirinda.
Mata saya tertuju pada seseorang yang terbaring di tempat tidur. Paulo Cirinda, benar-benar tidak bergerak, bahkan tidak berkedip--meski saya hanya bisa samar-samar melihat matanya lewat kacamata yang sudah berdebu.
Kulitnya tampak kasar dan berwarna abu-abu, dipenuhi lubang-lubang seperti bekas digerogoti serangga. Sebagian tubuhnya ditutupi oleh kain.
Saya menatapnya lama sekali. Namun, lamunan saya buyar tatkala beberapa cucunya datang berlarian, memasuki kamar dan bermain-main.
"Mengapa kakek selalu tidur?" tanya salah satunya sembari tertawa nakal. "Kakek, bangun dan mari kita pergi makan!" kata cucunya yang lain setengah berteriak.
"Sstt....Sudah jangan ganggu kakek, ia sedang tidur," bentak Mamak Lisa. "Kalian akan membuatnya marah."
Dan, inilah hal yang mengejutkan saya. Pria ini, Paolo Cirinda, sudah meninggal lebih dari 12 tahun yang lalu. Namun keluarganya memperlakukan seakan ia masih hidup.