News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tradisi Unik di Toraja Sulawesi, Hidup Serumah dengan Orang Mati, Diperlakukan Bak 'Orang Hidup'

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Paulo Cirinda, dibaringkan di dalam peti terbuka di sebuah kamar. Cucu-cucunya keheranan dan selalu menanyakan kenapa kakek mereka selalu tertidur.

Setiap beberapa tahun, keluarga mengambil peti mati kerabat mereka yang sudah lama meninggal dari kuburan lalu membukanya. Pda saat itulah mereka berkumpul kembali dengan orang yang sudah meninggal.

Dalam upacara ma'neneini, teman-teman serta keluarga menawarkan makanan dan rokok kepada orang yang sudah meninggal dan membersihkannya dengan kasih sayang. Kemudian mereka akan berpose dengan almarhum untuk foto keluarga baru.

Profesor sosiologi dari Toraja, Andy Tandi Lolo, menggambarkan tradisi itu sebagai cara mempertahankan "interaksi sosial antara mereka yang masih hidup dan orang-orang yang sudah meninggal".

Sepulang dari gereja pada suatu Minggu, saya bersama-sama orang-orang dari sebuah desa di Toraja berjalan ke sebuah bangunan kecil tanpa jendela, berbentuk persegi dengan ubin berwarna kuning.

Ini adalah makam keluarga. Suasana terasa surealis saat terdengar nyanyian yang berbaur dengan suara perempuan menangis.

Semua orang di sini tengah melakukan ritual ma'nene untuk Maria Solo, yang meninggal tiga tahun yang lalu. Mereka mengatakan kalau masih hidup usia Maria sekarang 93 tahun. Dia ditempatkan di makam keluarga ini setahun yang lalu. Sekarang saatnya bagi dia untuk dibangkitkan.

Lalu para pria membawa keluar peti mati silinder berwarna merah dihiasi pola geometris berwarna emas dan perak. Keluarga dekatnya membawa persembahan untuk Maria berupa daun tanaman koka, rokok, kacang pahit dan telinga kerbau yang baru dipotong.

Tapi ada satu lagi ritual yang perlu dilakukan sebelum mereka membuka peti mati, yaitu menyembelih kerbau.

Mereka akhirnya membuka peti mati dan sekali lagi, tercium aroma kuat formalin. Lalu tampaklah jenazah seorang nenek di dalamnya. Rambut putihnya diikat rapi ke belakang sehingga wajah tirusnya terlihat.

Mulut, matanya yang setengah terbuka, serta kulitnya yang berwarna abu-abu membuatnya tampak lebih seperti patung ketimbang orang yang sudah meninggal.

Bagaimana perasaan anak-anak mereka, melihat ibu mereka seperti ini?

Anak sulungnya, seorang pengusaha yang kini tinggal di Jakarta, tampaknya sangat tenang. Ia mengatakan pada saya bahwa hal itu tidak mengganggunya sama sekali dan justru mengingatkan betapa sang ibu sabar dan menyayangi dirinya.

Sama halnya dengan keluarga Cirinda, kerabat Maria Solo masih menganggap ibu mereka belum meninggal.

Setelah jasadnya diperlihatkan, tanda-tanda kesedihan dan ketegangan pun hilang. Bahkan saya pun sudah tidak gugup lagi. Estersobon, sang menantu, mengatakan pada saya bahwa ritual ma'nene meringankan beban kesedihan dan membantu menghidupkan kembali kenangan-kenangan akan mertuanya.

Saya mengatakan pada Estersobon bahwa saya ingin mengenang almarhum ayah saya ketika ia masih hidup. Saya akan khawatir jika melihatnya dalam kondisi meninggal, pandangan saya tentang dia akan berubah.

Tapi Estersobon menegaskan bahwa kenangan anggota keluarga terhadap sosok mendiang tidak berubah setelah melihat mereka dalam kondisi meninggal dunia.

Setelah puas menghabiskan waktu dan mengambil beberapa foto dengan Maria, sekarang saatnya untuk membungkus mendiang dengan kain putih sebagai simbol bahwa ia telah berganti pakaian.

Di banyak desa, mereka mengganti pakaian mendiang dengan yang baru dan bahkan mengajak jenazahnya untuk berjalan-jalan berkeliling desa. Tapi praktik ini lambat laun menghilang, setelah 80% masyarakat Toraja berpindah keyakinan dari animisme, Aluk To dolo, menjadi Kristen. Perlahan, tradisi lama mereka tinggalkan.

Namun, pemeluk agama Kristen dan Aluk To dolo selalu hidup berdampingan di wilayah ini. Andy Tandi Lolo mengatakan bahwa ketika misionaris Belanda lebih dulu tiba kurang dari seabad yang lalu, mereka mencoba untuk melarang animisme.

Tapi meski mereka ingin masyarakat Toraja menerima agama baru yang mereka bawa, pada tahun 1950 mereka tetap memperbolehkan orang-orang Toraja melanjutkan ritual mereka.

Tradisi ini mungkin tampak aneh bagi sebagian besar orang yang hidup di belahan dunia lain. Tapi mungkin prinsip-prinsip mereka tidak begitu berbeda dengan budaya lainnya.

Mengingat kembali orang-orang yang sudah meninggal dunia merupakan sesuatu yang ingin kita lakukan dan masyarakat Toraja hanya melakukannya dengan cara berbeda.

 Itulah Tana Toraja.  Satu dari sekian banyak kabupaten di Indonesia yang masih memiliki tradisi dan budaya lokal yang unik.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini