News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hari Pendidikan Nasional

Intoleransi di Sekolah, Siswa Tolak Ketua OSIS Beda Agama

Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI.Aliansi Masyarakat Pembela Bhineka (AMPB) mengajak masyarakat Indonesia untuk merawat kerukunan antar umat beragama dan suku bangsa. AMPB mengimbau agar pemuda tidak mudah terprovokasi dengan isu yang menjurus pada perpecahan, Sabtu (19/11/2016). TRIBUN MEDAN/ARRAY A ARGUS

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Isu agama yang diangkat dalam pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta lalu ternyata berdampak sampai ke dunia pendidikan.

Ada siswa yang menolak dipimpin Ketua OSIS yang berbeda agama.

Hal ini menjadi potret intoleransi yang terjadi sampai ke remaja.

" Pilkada DKI Jakarta ini, satu momentum, yang imbasnya ke mana-mana," kata Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo Henny dalam sebuah diskusi peringatan Hari Pendidikan Nasional yang digelar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, di Jakarta, Selasa (2/5/2017).

Henny mengatakan, beberapa pekan lalu ia sempat berkunjung ke sebuah agenda dengan guru-guru dan orang tua murid di Bandung.

Di sana, kata Henny, beberapa orangtua mengatakan kondisi politik hampir serupa dengan kejadian tahun 1998.

"Mereka terbuka mengatakan bahwa mereka korban '98. Mereka bilang bisa melewati itu semua, tetapi tidak bisa membayangkan bagaimana dengan anak-anaknya," kata Henny.

Politik praktis tidak secara langsung mengganggu kegiatan belajar-mengajar.

Namun, lanjut Henny, hal itu berdampak terhadap kemerdekaan berpikir anak-anak.

Henny juga menyampaikan, beberapa waktu lalu ia mendapatkan laporan penelitian dari Kemendikbud di sekolah-sekolah di Singkawang dan Salatiga mengenai toleransi, kesetaraan dan kerja sama.

"Ada keengganan anak dipimpin ketua OSIS yang berbeda agama," kata Henny.

Sementara itu, berkaitan dengan pengabaian hak jender, Henny mengkritik sekolah-sekolah yang tidak memberikan kesempatan bagi siswinya yang hamil untuk menyelesaikan pendidikan.

Henny juga menyoroti kebijakan salah satu universitas negeri yang meminta orang tua mahasiswa untuk menjamin bahwa anaknya tidak masuk dalam kategori LGBT.

Walaupun pada akhirnya kebijakan tersebut dibatalkan oleh pihak universitas.

"Keberanian universitas negeri tersebut menunjukkan sebetulnya kita punya masalah besar dengan pemahaman bahwa sebetulnya hak belajar itu tidak boleh ditutup oleh siapa pun, dan itu dijamin undang-undang," katanya.(Estu Suryowati)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini