TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana sejumlah fraksi DPR RI yang akan mengajukan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar membuka rekaman penyidikan terhadap Miryam S Haryani dalam kasus korupsi e-KTP, diyakini oleh ahli hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, tidak akan berhasil.
Bivitri Susanti menilai salah satu penyebabnya dikarenakan kurangnya dukungan politik. Sejumlah partai termasuk Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Golkar, sudah menyatakan dukungannya untuk KPK.
"Saya yakin tidak akan ada (hak angket), karena kita sudah bisa melihat karena fraksi-fraksi itu sebenarnya tidak mendukung," ujarnya kepada wartawan di Hotel Puri Denpasar, Jakarta Selatan, Minggu (8/4/2017).
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket DPR, diatur bahwa hak angket diajukan oleh sekurang-kurangnya 10 anggota DPR. Setelahnya wacana tersebut akan dibahas dalam rapat paripurna, dan diputuskan.
"Keanggotaan panitia angket itu terdiri dari semua fraksi, jangankan enam, satu (fraksi) saja tidak hadir, seharusnya tidak bisa (diajukan)," terangnya.
"Kalaupun itu tetap jalan, menurut saya yg bisa dilakukan adalah secara internal fraksi-fraksi musti protes melalui badan musyawarah, karena kan setiap mau pembentukan pansus itu harus disepakati dulu," katanya.
Rekaman yang diharapkan untuk dibuka, adalah rekaman mantan anggota Komisi II DPR RI, Miryam S. Haryani. Rekaman tersebut diminta oleh sekelompok anggota dewan, antara lain setelah penyidik KPK, Novel Baswedan, di sidang e-KTP, mengatakan Miriyam mengaku diancam oleh sejumlah anggota dewan.
Dalam kesaksiannya di hadapan penyidik KPK, kader Partai Hanura itu, mengaku sudah menerima suap dari proyek itu. Tidak hanya dirinya, Miryam juga menyebut nama lain yang diduga ikut menerima suap, antara lain Setya Novanto, Ganjar Pranowo, Yasonna H Laoly, dan Olly Dondokambey.