TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah juga dinilai harus mengevaluasi sejumlah lembaga yang didirikan dengam basis ideologi yang anti Pancasila dan mempertanyakan hakikat bernegara.
Seperti FPI, GNPF MUI dan sejuah ormas lain yang teridentifikasi anti NKRI dan anti-Pancasila.
Demikian Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran Bandung, Muradi sampaikan kepada Tribunnews.com, Senin (8/5/2017), ketika menanggapi langkah pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Karena kata Muradi, selama ini keberadaan lembaga-lembaga tersebut tidak juga meresahkan publik juga memecah persatuan publik.
Karena itu penting agar publik juga memiliki panduan dan pijakan dalam memosisikan diri terkait dinamika kemasyarakatan yang selama ini berlangsung.
"Sehingga dengan begitu, langkah ini menjadi komprehensif dan tidak tebang pilih," ujarnya.
Termasuk di dalamnya imbuhnya, mengkaji betul penggunaan rumah ibadah untuk kegiatan politik.
Terkait langkah pemerintah membubarkan HTI, Muradi menilai sudah tepat meski sedikit telat.
"Ini kebijakan yang bisa jadi rujukan publik berkaitan dengan kelompok-kelompok anti-Pancasila dan NKRI," kata Muradi kepada Tribunnews.com. Senin (8/5/2017).
Namun demikian, lanjutnya, sebagai negara demokratis, langkah pembubaran dan larangan ini harus diuji dalam peradilan yang adil.
Dengan kata lain, pemerintah tetap memberikan 'hak jawab' bagi hti untuk menjelaskan posisi kelembagaan mereka pada proses peradilan yang terbuka.
Dari situ putusan pengadilan akan dapat bersifat tetap bagi pelarangan dan pembubaran HTI tanpa harus mencederai esensi demokrasi.
Khususnya hak publik dalam berkumpul dan berserikat, yang mana dalam konstitusi juga secara tegas diatur.
Hal ini menurutnya, penting agar pemerintah juga tetap menghormati hak publik dalam berserikat.