Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyarankan Jaksa Agung M Prasetyo melakukan kajian hukum yang teliti terkait rencana banding dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"JA (Jaksa Agung) perlu melihat selama ini bagaimana kebijakan atau policy Kejaksaan ketika suatu putusan harus dibanding," kata Arsul melalui pesan singkat, Minggu (14/5/2017).
Arsul menuturkan dasar kebijakan kejaksaan melakukan banding ketika vonis hakim memberikan hukuman lebih ringan 2/3 dari hukuman yang dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Ketika vonis lebih berat termasuk menggunakan pasal berbeda dengan dasar tuntutan JPU, tetapi pasal yang dijadikan dasar hakim tersebut ada dalam surat dakwaaan, maka Kejaksaan tidak banding.
"Biasanya Kejaksaan membiarkan saja yamg banding adalah terdakwa dan penasehat hukumnya," kata Politikus PPP itu.
Arsul mencontohkan sikap Kejaksaan dapat dilihat misalnya dalam kasus pembunuhan anak di Bali, Angeline.
Terdakwa Agus pada saat dituntut JPU atas dasar pasal menyembunyikan mayat.
Tapi kemudian majelis hakimnya memvonis dengan dasar turut membantu dalam pembunuhan sehingga hukumannya lebih berat.
"Nah, Kejaksaan tidak banding dalam kasus itu," katanya.
Kalau dalam kasus Angeline kejaksaan tidak mengajukan banding tentu akan menimbulkan pertanyaan jika dalam kasus Ahok kejaksaan mengajukan banding.
"Tentu masyarakat akan mempertanyakan mengapa dalam kasus Ahok kok jaksanya ikut banding?" kata politikus PPP itu.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung memastikan akan mengajukan banding atas vonis dua tahun penjara terhadap Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Ya akan mengajukan banding," kata Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, di Jakarta, Jumat (12/5/2017).
Keputusan jaksa untuk melakukan upaya banding, kata Prasetyo, adalah hal yang lazim.
Apalagi, Ahok sebagai terdakwa, juga banding.
"Jaksa pun tentunya sesuai dengan standar prosedur yang ada, mengajukan banding," ujar Prasetyo.