TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Formappi Lucius Karus berkomentar mengenai karier politik Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Lucius menilai hal tersebut ditentukan kesediaan Ahok untuk kembali ke jalur politik.
"Setelah langkahnya tersandung oleh kasus penistaan agama yang secara kebetulan menjadi momentum penting dalam perjalanan karirnya," kata Lucius, Senin (15/5/2017).
Menurut Lucius, kasus tersebut nampaknya berhasil menghadang Ahok, apalagi setelah pengadilan memutuskan Mantan Bupati Belitung Timur itu bersalah dan divonis hukuman 2 tahun penjara.
Lucius juga menilai infrastruktur politik umumnya akan ikut menentukan karier Ahok di jalur politik selanjutnya. Jika politik di Indonesia masih didominasi oleh isu-isu klasik seperti SARA sebagaimana saat ini sukses menghambat laju Ahok, maka kecil kemungkinannya dengan mudah bisa kembali berpolitik.
"Satu hal yang minimal sudah menjadi modal Ahok, dan modal itu sangat langka dimilikki oleh politisi umumnya adalah pendukung yang cenderung fanatik, yang semakin solid setelah Ahok nampaknya secara sistematis disingkirkan melalui penggunaan isu-isu SARA," kata Lucius.
Lucius mengatakan para pendukung Ahok semakin terkonsolidasi sedemikian rupa sehingga mantan anggota DPR itu tidak sekedar dianggap sebagai sosok politisi biasa.
"Akan tetapi Ahok dan sosoknya sukses diangkat ke level tertinggi yakni sebagai simbol," kata Lucius.
Lucius menuturkan Ahok tidak hanya bernilai sesaat dan untuk dirinya sendiri saja, tetapi sudah menjadi simbol untuk sebuah perjuangan sosial. Hal itu menjadi modal luar biasa yang membuat Ahok akan bisa menjadi politisi fenomenal ke depannya.
"Seorang politisi yang sukses adalah mereka yang mampu menggerakkan massa. Ahok walaupun tak pernah secara langsung menginisiasi pergerakan massa, tetapi massa selalu saja berada di sekitarnya," kata Lucius.
Lucius menuturkan dalam waktu yang relatif singkat memimpin Jakarta, sosok Ahok bisa terbentuk hingga menyaingi begitu banyak tokoh kharismatik Indonesia sejak era perjuangan dahulu. Bahkan Agok mampu memberikan perbedaan tajam soal pemimpin kharismatik.
"Bahwa pemimpin yang kharismatik itu tak selalu harus lihai berpidato, berorasi, atau menghafal ayat-ayat suci. Pimpinan kharismatik bisa saja punya kemampuan komunikasi yang biasa-biasa bahkan cenderung jelek, tetapi perbuatannya dan kebijakan-kebijakannya yang pro-rakyat bisa membuat seseorang menjadi luar biasa," ungkap Lucius.
Lucius menuturkan Ahok bahkan tak perlu bekerja khusus untuk menggalang dukungan ke depannya. Para pendukung setianya yang akan terus menularkan kehebatannya.
"Bahkan saat Ahok terpisah dari dunia bebas karena mendekam di dalam penjara. Dia ibaratnya menjadi "bom waktu" untuk jagad politik Indonesia beberapa tahun mendatang," kata Lucius.