TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sistem Pemilu proporsional terbuka terbatas akan sulit dipahami pemilih dan hanya kamuflase untuk membohongi pemilih.
Demikian ditegaskan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Pemilu yang diwakilkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini kepada Tribunnews.com, Senin (12/6/2017).
"Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terbatas pada praktiknya adalah sistem pemilu tertutup," kata Titi kepada Tribunnews.com.
Sistem ini menurutnya, menegasikan hak pemilih untuk memilih calon yang dikehendakinya dan merupakan langkah mundur atas perjuangan reformasi yang menghendaki akuntabilitas antara calon yang dipilih dengan pemilih/konstituen yang diwakilinya.
Sistem ini juga memperlihatkan dominasi partai dibandingkan rakyat pemilih yang ujungnya akan menjauhkan anggota legislatif terpilih dengan konstituennya.
Diberitakan, Perludem baru-baru ini menggelar survei untuk menjaring respons publik terhadap desain RUU Pemilu. Hasilnya cukup nyata.
Publik rupanya tidak susah-susah soal mekanisme pemilu. Publik lebih ingin sistem pemilu dibuat terbuka.
"Dari 100 persen responden, hanya 14 persen yang menyatakan dia lebih suka memilih partai. Sisanya, berarti 86 persen lebih suka atau lebih ingin memilih calon," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.
Survei juga menunjukan, sebanyak 70 persen dari 400 responden di 27 provinsi itu mengaku tidak pernah kesulitan dalam memilih calon.
"Nah, selama ini kan dasar (DPR RI) ingin mengubah sistem karena pemilih dianggap enggak ngerti, kesulitan memilih calon. Makanya dikasih gambar (partai politik) saja supaya gampang. Nyatanya tidak tuh," ujar Titi.