TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dari Partai Nanggroe Aceh (PNA) Samsul Bahri Bin Amiren dan Kautsar dari Partai Aceh (PA) kecewa dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Karena DPR mencabut pasal 57 dan 60 UU Pemerintahan Aceh, yang berkaitan dengan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh dan kabupaten/kota.
Pencabutan tersebut lewat Pasal 557 Ayat (1) huruf a, b dan Ayat (2), serta Pasal 571 huruf D UU Pemilu yang disahkan DPR belum lama ini.
Karena itu keduanya, mengajukan judicial review terhadap Pasal 557 Ayat (1) huruf a, b dan Ayat (2), serta Pasal 571 huruf D UU Pemilu pada Selasa kemarin.
Pengajuan uji materi ini untuk mempertahankan kekhususan Aceh.
Bagi keduanya, pencabutan Pasal 57 dan Pasal 60 UUPA melalui UU Pemilu berarti Pemerintah Pusat mulai memangkas kekhususan Aceh.
Komisi Independen Pemilihan Aceh (KIP Aceh) dan Panwaslih Aceh dicabut dan disesuaikan dengan UU Pemilu.
Apalagi sebagai mantan kombatan GAM dan aktifis perjuangan, keduanya merasa punya tanggung jawab moril untuk menjaga capaian-capaian politik Aceh.
"Berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI," jelas Kamaruddin SH, pengacara kedua legislator tersebut, Kamis (24/8/2017).
Pencabutan dua pasal tersebut menjadi domain dari kekhususan Aceh menunjukkan DPR keliru memahami asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Terlebih yang dipersoalkan dan dicabut itu terkait dengan jumlah komposisi komisioner KIP Aceh dan masa kerja anggota KIP Aceh dan Panwaslih Aceh.
Dan itu tidaklah terlalu esensial dari penyelenggaraan pemilu di Aceh.
"Padahal di dalam UUPA itu sudah sangat jelas mengatur bahwa terkait dengan kekhususan Aceh DPR seharusnya berkonsultasi dan meminta pertimbangan DPRA terlebih dahulu sebelum kemudian merumuskan peraturan yang berkaitan dengan Aceh kedalam suatu Rancangan Undang-Undang," tegasnya.
Dalam Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 269 UUPA sudah mengatur tentang konsultasi untuk mendapatkan pertimbangan DPRA terhadap Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan Provinsi Aceh.
"Sehingga DPR seharusnya tidak asal main cabut dan menyatakan tidak berlaku seperti itu. Ada mekanisme konstitusional yang seharusnya dipahami oleh para pembentuk undang-undang, bahwa Aceh itu adalah daerah yang bersifat istimewa dan khusus,dan negara harus menghormatinya, karena itu amanat konstitusi didalam Pasal 18 A ayat (1) dan Pasal 18 B ayat (1)," tegasnya.
Karena itu, DPR sebagai pembentuk UU bisa menyesuaikan terlebih dahulu dan mengkonsultasikan dengan Pemerintah Aceh dan DPRA.
"Jauh sebelum itu bisa dilakukan "legislative review" oleh pembentuk undang-undang untuk mengevaluasi rancangan undang-undang itu terlebih dahulu, apakah undang-undang ini telah memiliki sinkronisasi dan harmonisasi yang baik atau tidak, dan bagaimana aspek filosofis dan historis pembentukan undang-undangnya, sudah sesuai apa belum. Jadi jangan asal cabut-cabut saja," demikian Kamaruddin, yang juga pengacara PSI dalam menggugat UU Pemilu soal aturan verifikasi dan keterwakilan perempuan ke MK.