Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil investigasi dari Amnesty International menyebutkan, militer Myanmar menggunakan ranjau mematikan di perbatasan negara bagian Rakhine dan Bangladesh.
Direktur Respons Krisis Amnesty International Tirana Hassan beserta tim sedang berada di perbatasan Myanmar dan Bangladesh untuk mengumpulkan bukti-bukti terkait dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap etnis Rohingya yang dilakukan tentara Myanmar.
Baca: Protes Kedubes Myanmar, Yenny Wahid: Jangan Bawa Isu Agama
"Kita menemukan tiga orang, yang dua di antaranya adalah anak-anak, terluka parah dan seorang meninggal akibat ranjau tersebut," ujar Tirana melalui keterangan tertulis yang diterima, Minggu (10/9/2017).
Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan analisa tim investigasi, ranjau tersebut dipasang di bagian utara Rakhine.
Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan 270 ribu orang telah menyeberang ke Bangladesh melalui daerah beranjau tersebut.
Baca: Soal Rohingya, Yenny Wahid Apresiasi Langkah Diplomasi Pemerintah Indonesia Terhadap Myanmar
Mereka melarikan diri akibat serangan membabi buta yang dilakukan militer Myanmar terhadap kelompok militan Rohingya, sebut keterangan tertulis tersebut.
Tirana mengatakan, penggunaan ranjau itu, memperparah keadaan di Rakhinya.
"Penggunaan senjata mematikan di wilayah perbatasan yang ramai tersebut, membahayakan nyawa pengungsi yang melitas," ujar Tirana.
Sementara itu, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan bahwa temuan-temuan pelanggaran penggunaan ranjau ini menjadi bukti tambahan betapa pentingnya peran pemerintah Indonesia dalam urusan kemanusiaan di Rakhine dan perbatasan Bangladesh-Myanmar.
“Indonesia berperan kunci dalam meyakinkan Myanmar agar membuka akses bagi bantuan kemanusiaan yang datang dari masyarakat internasional serta akses bagi Misi Pencarian Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dipimpin Marzuki Darusman” kata Usman.