News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Film G30S

Kontroversi Adegan Pencungkilan Mata di Film G30S/PKI, 'Keganjilan' Terungkap di Hasil Visum

Editor: Rendy Sadikin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila tahun 1989. Monumen Pancasila Sakti dibangun di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur | kompas.com

Jenazah Achmad Yani luka tembaknya terbanyak, yakni 10 luka tembak masuk dan tiga luka tembak keluar.

Luka tembak Soetojo Siswomihardjo, S. Parman, dan D.I. Panjaitan, umumnya terdapat di kepala.

Pada jenazah P. Tendean, terdapat penganiayaan berat yang menyebabkan luka menganga pada puncak kepala dan dahi.

Kekerasan benda tumpul ditemukan pada jenazah Soetojo, S. Parman, dan R. Soeprapto.

Hanya jenazah M.T. Haryono yang tidak terdapat luka tembak, melainkan luka tusuk di bagian perut tembus ke punggung, serta di bagian tangan.

"Akibat ditusuk bayonet," kata Djaja menyimpulkan.

Djaja menyatakan, tidak perlu meragukan hasil kerja tim dokter yang mengautopsi korban G30S.

Saat itu mereka orang-orang yang berkompeten dalam ilmu kedokteran kehakiman, yang kini istilahnya kedokteran forensik.

Meski sudah terkubur empat hari, jenazah juga masih dapat diidentifikasi dengan baik.

"Sudah puluhan tahun meninggal saja tetap bisa diidentifikasi kok," kata ahli DNA yang pernah mengidentifikasi kerangka tentara Jepang yang mati di Papua pada Perang Dunia II ini.

Mungkin pertanyaan yang timbul saat ini, kata Djaja: mengapa tidak dilakukan autopsi dalam lewat pembedahan?

Jawabannya, karena perintah hanya sebatas itu. Dokter tidak berhak melanggar.

Termasuk ketika Lim menemukan anak peluru sepanjang 4,7 mm. Benda itu diserahkannya kepada Soeharto.

Sebenarnya jika ingin dilakukan proses pemeriksaan balistik, dapat diketahui asal senjatanya.

Membuat Putri Jenderal Marah

Salah satu anggota tim forensik yang berusaha membeberkan apa yang sebenarnya terjadi pada para jenderal yang menjadi korban G30S adalah dr. Lim Joe Thay.

Lim tak pernah risau karena puluhan tahun tidak bisa mengungkapkan kebenaran.

Ia masih bisa bercerita pada murid-muridnya di bangku kuliah kedokteran forensik.

Terkadang ia prihatin, karena ada bagian keping sejarah yang salah dan tak pernah berusaha diluruskan, tapi terus beredar di masyarakat.

Meski sudah beberapa media mencoba mengungkap kasus tersebut, tapi tidak ada upaya sungguh-sungguh dari pemerintah untuk meluruskannya.

Tapi, suatu saat Arsip Nasional RI pernah menghubunginya untuk meminta konfirmasi terkait apa yang dia dapat di bangsal forensik malam itu.

Lim termasuk yang paling keras soal laporan ini. Ia menuliskan apa yang didapat meski “tak berguna” karena tekanan rezim.

Laporannya baru benar-benar terpakai saat seorang Indonesianis dari Cornell University, Benedict Anderson, saat menulis “How Did the Generals Die?” yang ia muat di jurnal Indonesia pada 1987.

Akibat kegigihannya itu, Lim juga pernah ditelepon oleh salah satu putri korban.

Lim dimarah-marahi karena dianggap berusaha menghilangkan kenyataan telah terjadi penyiksaan terhadap para jenderal.

Lalu munculnya quote sakti itu dari dr. Lim, “Meluruskan fakta sejarah tidak akan mengurangi derajat kepahlawan para Pahlawan Revolusi.”

Belakangan, Lim baru mengetahu kenapa putri jenderal itu marah, karena si putri membaca sebuah artikel majalah yang keliru mengutip kalimat Lim.

Akibatnya, Lim kena semprot.

Artikel ini sudah dipublikasikan di INTISARI dengan judul: Mengurai Fakta Peristiwa G30S dari Bangsal Forensik: Tidak Ada Pencungkilan Mata Seperti dalam Film

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini