News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Panglima TNI

Jokowi Diimbau Hati-hati Sikapi 'Manuver' Panglima TNI

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo didampingi KSAD Jenderal TNI Mulyono, KSAL Laksamana TNI Ade Supandi dan KSAU Marsekal TNI Hadi Tjahjanto usai melakukan ziarah di makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur, Senin (18/9/2017).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Setara Institute Hendardi meminta Presiden Joko Widodo hati-hati dalam menyikapi manuver yang dilakukan oleh Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.

"Presiden Jokowi mesti berhati-hati mengambil sikap atas Panglima TNI," kata Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/9/2017).

"Karena Panglima TNI sedang mencari momentum untuk memperkuat profil politik bagi dirinya, maka tindakan atas Gatot Nurmantyo haruslah merupakan tindakan normatif dan biasa-biasa saja, sehingga cara-cara politik yang tidak etis yang sedang diperagakannya secara perlahan menjadi layu sebelum berkembang," tambah dia.

Hendardi mengatakan, penyampaian informasi intelijen oleh Panglima TNI di ruang publik menyalahi kepatutan.

Pasalnya, tugas intelijen hanya mengumpulkan data dan informasi untuk Presiden.

"Panglima TNI jelas a historis dengan hakikat reformasi TNI baik yang tertuang dalam TAP MPR, Konstitusi RI maupun dalam UU TNI dan UU Pertahanan," kata Hendardi.

Baca: Ini Spesifikasi 5.000 Senjata Jenis MAG 4 yang Dipesan Polri dari Pindad

Hendardi menambahkan, pernyataan Panglima TNI menunjukkan teladan buruk bagi prajurit. Prajurit TNI selama ini didisiplinkan untuk membangun relasi yang kuat dan sehat dengan Polri.

Langkah itu dilakukan untuk menghindari konflik polisi dan tentara seperti yang kerap terjadi.

Alih-alih menjadi teladan, Panglima TNI justru membawa prajurit TNI dalam konflik kepentingan serius yang hanya menguntungkan diri Panglima TNI.

Hendardi melihat, belakangan ini Gatot terus mencari perhatian publik dengan pernyataan-pernyataan permusuhan, destruktif dan di luar kepatutan seorang Panglima TNI.

"Selain isu PKI, pemutaran film G30SPKI, perang pernyataan dengan Menteri Pertahanan, pengukuhan diri sebagai Panglima yang bisa menggerakkan dan memerintahkan apapun pada prajuritnya, adalah akrobat politik Panglima TNI yang sedang mencari momentum politik untuk mempertahankan eksistensinya jelang masa pensiun," kata Hendardi.

Hendardi menilai, cara Gatot Nurmantyo memimpin TNI adalah yang terburuk sepanjang era reformasi.

Bukan karena melakukan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan secara terbuka, tetapi karena membawa kembali TNI berpolitik.

"Bahkan dengan mengorbankan koeksistensi antarinstitusi negara seperti Polri, BIN, dan Kemenhan," ucap Hendardi.

Sebelumnya, beredar rekaman suara Panglima TNI di media sosial saat berbicara dalam acara silaturahim Panglima TNI dengan purnawirawan TNI di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (22/9/2017).

Dalam rekaman itu, Panglima TNI menyebut adanya institusi nonmiliter yang membeli 5.000 pucuk senjata.

"Data-data kami, intelijen kami akurat," ucapnya.

"Bahkan TNI pun akan dibeli. Tidak semuanya bintang-bintang di sini bersih. Ada yang punya keinginan dengan cara amoral unutk mendapat jabatan," ucap Panglima.

Belakangan, Panglima TNI mengakui bahwa rekaman tersebut memang pernyataannya.

"Seribu persen itu benar kata-kata saya," ucap Panglima TNI usai menutup Kejurnas Karate Piala Panglima TNI Tahun 2017, di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Minggu malam.

Namun, Gatot menegaskan bahwa pernyataan itu bukan untuk publik. Sehingga, ia tidak mau berkomentar lagi soal substansi pernyataan dalam rekaman itu.

"Saya tidak pernah 'press release' (soal senjata), saya hanya menyampaikan kepada purnawirawan, namun berita itu keluar. Saya tidak akan menanggapi terkait itu (senjata ilegal)," kata Gatot.

Menanggapi pernyataan Panglima TNI, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menjelaskan bahwa institusi non-militer yang berniat membeli senjata api adalah Badan Intelijen Negara (BIN) untuk keperluan pendidikan.

Jumlahnya tak mencapai 5.000 pucuk, tetapi hanya 500 pucuk. BIN juga sudah meminta izin ke Mabes Polri untuk pembelian senjata itu.

Izin tak diteruskan ke TNI lantaran spesifikasi senjata yang dibeli BIN dari Pindad itu berbeda dengan yang dimiliki militer.

Penulis: Ihsanuddin
Berita ini telah tayang di Kompas.com dengan judul:  Setara: Jokowi Mesti Hati-hati Sikapi Panglima TNI

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini