Para tapol yang dipenjara di Pulau Buru umumnya dari Pulau Jawa dan mahir bertani serta bercocok tanam.
Untuk mengawasi para tapol yang sudah kenyang perlakuan tidak manusiawi itu mereka dijaga oleh sejumlah batalyon pasukan yang anggotanya merupakan orang Maluku dan terkenal kejam.
Tapi perlakukan kejam itu kadang timbul karena masalah perbedaan budaya khususnya dalam cara bercocok tanam.
Suatu kali karena bahan makanan berupa beras habis, para tapol asal Jawa disuruh masuk hutan untuk mencari sagu.
Tapi karena para tapol asal Jawa tidak tahu cara mengolah sagu, sementara para pasukan penjaga juga tidak mau mengajari, akibatnya para tapol mengalami diare ketika harus mengkonsumsi sagu yang tidak benar cara mengolahnnya itu.
Ketika sedang mengolah lahan untuk dijadikan sawah para tapol juga merasa tidak kesulitan.
Baca: Hotman Paris: Tahun Ini, Saya Target Punya 50 Hotel dan Villa, Semuanya Mewah
Tapi ketika mereka sedang membuat pematang sawah dengan menggunakan tangan dan kaki untuk menginjak pematang agar keras, para pasukan penjaga malah mengira para tapol sedang bermalas-malasan.
Gamparan tangan dan hantaman popor senapan pun mendarat di tubuh para tapol yang dianggap telah kerja secara bermalas-malasan.
Suatu kali para tapol juga membuat tape yang berasal dari singkong.
Namun karena para personel militer asal Maluku rupanya tidak mengenal tape singkong, mereka malah menganggap tape singkong yang dimakannya sebagai singkong busuk dan menuduh para tapol telah berusaha meracuninya.
Pukulan dan hantaman popor senapan pun kembali mendarat di tubuh para tapol yang telah bertahun-tahun bekerja di kamp kerja paksa, mirip kamp kerja paksa Gulag ala komunis Uni Soviet itu.
(Sumber: Buku Menyeberangi Sungai Air Mata Kisah Tragis Tapol’65 dan Upaya Rekonsiliasi)
(Agustinus Winardi)
Artikel ini telah tayang di Intisari dengan judul: Diberi Label ‘Komunis’, Tahanan Politik G30S Justru Diperlakukan Layaknya Tahanan di Negeri Komunis